2050: Pekerjaan Lenyap! Kuasai Skill UNESCO Ini Sekarang!

PBB memproyeksikan perubahan lanskap pekerjaan yang drastis, dengan separuh jenis pekerjaan saat ini diperkirakan menghilang pada tahun 2050. Lebih mencengangkan lagi, 60% anak-anak yang kini duduk di bangku sekolah dasar diprediksi akan mengisi profesi yang belum ada di masa kini. Realitas ini menegaskan urgensi persiapan dini, sebagaimana ditekankan oleh Direktur Regional UNESCO, Maki Katsuno, dalam gelaran Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025 di Jakarta.

Menurut Katsuno, transformasi masif menuju ekonomi berkelanjutan bukan sekadar memerlukan kapabilitas kognitif semata, melainkan menuntut serangkaian kemampuan baru yang bersifat holistik. “Ini bukan hanya tentang ekonomi hijau, tetapi juga ekonomi industri yang lebih inklusif secara sosial dan budaya,” ujarnya, menegaskan bahwa keterampilan masa depan harus mampu mendorong perubahan fundamental menuju sistem ekonomi yang lebih ramah lingkungan dan merata.

Maki Katsuno mengidentifikasi tiga kategori utama kemampuan yang esensial untuk masa depan. Kategori pertama adalah human skills, meliputi kepemimpinan yang kuat, kemampuan kerja sama tim yang efektif, motivasi intrinsik, kelincahan (agility) dalam beradaptasi, serta kesadaran diri yang mendalam. “Ini adalah keterampilan yang akan memastikan manusia tetap relevan di tengah pesatnya laju otomatisasi dan digitalisasi yang tak terhindarkan,” jelasnya, menyoroti peran krusial kemampuan insani dalam menghadapi era disrupsi teknologi.

Kategori kedua adalah kemampuan teknis yang secara langsung berkaitan dengan pembangunan infrastruktur hijau dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. UNESCO, tambahnya, secara aktif terlibat dalam memberikan dukungan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas tenaga profesional di bidang ekologi dan keberlanjutan. “Kemampuan ini memegang peranan vital untuk menjawab berbagai tantangan perkotaan, seperti mitigasi banjir, peningkatan kualitas air, hingga penguatan ketahanan masyarakat di berbagai daerah,” ungkap Katsuno, menegaskan pentingnya keahlian praktis dalam mengatasi isu-isu lingkungan.

Terakhir, kategori ketiga adalah kemampuan memahami dan mengolah data. Maki Katsuno menekankan bahwa pemecahan isu-isu lingkungan yang kompleks tidak bisa dipisahkan dari analisis data ilmiah yang akurat. “Sebagai contoh nyata dalam penanganan masalah air, kita memerlukan keahlian mumpuni dalam pengumpulan data, penggunaan teknologi penginderaan jauh, serta interpretasi data yang cermat agar dapat menentukan solusi yang cepat dan tepat sasaran,” paparnya, menyoroti betapa krusialnya literasi data dalam upaya konservasi dan mitigasi lingkungan.

Namun, Katsuno menyoroti adanya kesenjangan signifikan yang harus segera diatasi, terutama dalam sistem pendidikan saat ini. Ia menilai, penguatan berbagai jenis keterampilan ini harus dimulai sejak dini melalui kurikulum. Sayangnya, baru sekitar 53% kurikulum global yang menyentuh isu perubahan iklim, dan bahkan lebih memprihatinkan, kurang dari 40% guru merasa nyaman membahasnya di kelas. “Kita harus serius memperhatikan aspek pendidikan ini terlebih dahulu sebelum membahas akses terhadap keterampilan hijau yang lebih kompleks,” tegasnya, menggarisbawahi fondasi pendidikan sebagai kunci utama.

Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, UNESCO berkolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi serta organisasi kepemudaan untuk memperluas akses pendidikan lingkungan. Fokus utama adalah menjangkau kelompok-kelompok yang selama ini belum banyak terjangkau oleh sistem pendidikan formal. “Kami bertekad memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang setara dan adil untuk memperoleh keahlian yang krusial guna mewujudkan transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tutur Maki, menunjukkan komitmen UNESCO dalam menciptakan kesetaraan akses.

Katsuno menyimpulkan bahwa transformasi menuju ekonomi hijau tidak hanya sekadar menuntut adaptasi teknologi semata, melainkan juga memerlukan perubahan paradigma yang mendalam. “Kita harus mengintegrasikan sains, teknologi, dan nilai-nilai keberlanjutan dalam satu kesatuan sistem yang saling mendukung dan berkelanjutan,” pungkasnya, menekankan bahwa masa depan yang lestari memerlukan pendekatan multidimensional yang holistik dan terpadu.

Ringkasan

PBB memprediksi hilangnya separuh pekerjaan saat ini pada tahun 2050, dan 60% anak SD akan bekerja di profesi yang belum ada. Direktur Regional UNESCO, Maki Katsuno, menekankan pentingnya persiapan dini dengan menguasai human skills, kemampuan teknis terkait infrastruktur hijau, dan kemampuan mengolah data untuk membangun ekonomi berkelanjutan.

UNESCO menyoroti kesenjangan dalam sistem pendidikan, di mana baru sebagian kecil kurikulum global yang membahas perubahan iklim, dan sedikit guru yang nyaman membahasnya. UNESCO berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan organisasi kepemudaan untuk memperluas akses pendidikan lingkungan dan memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keahlian yang dibutuhkan dalam transformasi ekonomi yang berkelanjutan.