Ifonti.com, JAKARTA — Pasar komoditas global kembali diwarnai gejolak. Harga tembaga melonjak signifikan, didorong oleh ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter oleh Bank Sentral AS (Federal Reserve) di tengah ketidakpastian akibat shutdown pemerintahan, serta gangguan pasokan yang semakin memburuk dari tambang-tambang utama di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Merujuk data Bloomberg, kontrak berjangka tembaga terpantau menguat 0,1%, mencapai level US$10.663 per ton pada pukul 09:52 waktu Singapura, Selasa (7/10/2025). Di London Metal Exchange (LME), harga tembaga bahkan sempat melesat hingga 0,6%, menandai berlanjutnya tren penguatan tajam sepanjang bulan ini. Kenaikan substansial ini tak lepas dari tekanan pasokan global, terutama akibat insiden di beberapa tambang kunci, termasuk di Indonesia.
Pergerakan harga logam industri lainnya menunjukkan dinamika beragam: aluminium melemah 0,3%, sementara seng (zinc) justru menguat 0,2%. Kontrak berjangka bijih besi di Bursa Singapura terpantau stagnan di kisaran US$104 per ton.
Harga Tembaga Terbang Bebas Imbas Krisis Tambang Freeport
Di tengah ketidakpastian yang menyelubungi, prospek suku bunga Federal Reserve menjadi sorotan utama. Data ekonomi vital yang menjadi pertimbangan The Fed untuk menentukan arah kebijakan moneter kini terhambat akibat shutdown pemerintahan AS. Meskipun demikian, mayoritas pelaku pasar tetap optimistis dan bertaruh bahwa bank sentral AS akan melanjutkan langkah pelonggaran kebijakan moneternya.
Namun, suara-suara peringatan juga muncul. Presiden Federal Reserve Kansas City, Jeff Schmid, misalnya, sempat menekankan pentingnya kehati-hatian agar tidak terlalu terburu-buru melakukan pemangkasan suku bunga, terutama setelah eksekusi penurunan pertama tahun ini pada bulan sebelumnya. Perlu dipahami, kebijakan suku bunga yang lebih rendah umumnya memicu peningkatan daya tarik investor terhadap aset-aset yang tidak menghasilkan imbal hasil, seperti logam berharga dan logam industri, terutama dalam periode inflasi yang masih tinggi.
Selain faktor-faktor tersebut, dinamika pasar global juga dipengaruhi oleh libur nasional Golden Week di China, yang untuk sementara waktu meredam aktivitas perdagangan di salah satu konsumen tembaga terbesar dunia.
Salah satu pendorong utama ketatnya pasokan tembaga global adalah insiden di tambang tembaga Grasberg, Papua, milik Freeport-McMoRan Inc. (FCX). Para pelaku pasar memantau ketat perkembangan produksi di tambang raksasa ini yang terganggu parah sejak terjadinya longsor pada 8 September 2025 lalu. Perusahaan telah mengonfirmasi penemuan jenazah tujuh pekerja yang menjadi korban dalam insiden tragis tersebut, namun hingga kini belum memperbarui proyeksi produksi pasca pemangkasan awal.
Dampak dari krisis tambang Freeport ini sangat signifikan. Freeport-McMoRan Inc. memperkirakan bahwa operasi tambang bawah tanah GBC baru dapat pulih sepenuhnya pada tahun 2027. Dalam keterangan resminya yang dikutip Kamis (25/9/2025), FCX menyatakan bahwa insiden ini akan menyebabkan penundaan produksi secara substansial dalam jangka pendek, yakni pada kuartal IV/2025 dan sepanjang tahun 2026, seiring dengan upaya perbaikan dan dimulainya pemulihan operasi secara bertahap. “Pemulihan ke tingkat produksi sebelum insiden berpotensi tercapai pada 2027,” demikian pernyataan FCX.
Meski demikian, ada sedikit kabar baik: PTFI memperkirakan bahwa tambang Big Gossan dan Deep MLZ, yang tidak terdampak langsung oleh insiden, dapat kembali beroperasi pada pertengahan kuartal IV/2025. Sementara itu, untuk tambang GBC yang terdampak, proses restart dan peningkatan produksi secara bertahap diproyeksikan baru akan dimulai pada semester I/2026.