Ifonti.com – JAKARTA. Setelah sempat tertekan dalam beberapa hari terakhir, nilai tukar rupiah akhirnya berhasil bangkit dan berbalik menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pada perdagangan Selasa, 7 Oktober 2025, rupiah di pasar spot ditutup dengan penguatan signifikan sebesar 0,13%, mencapai posisi Rp 16.561 per dolar AS. Tren positif ini juga tercermin pada kurs Jisdor Bank Indonesia (BI) yang naik 0,22% menjadi Rp 16.560 per dolar AS.
Penguatan rupiah ini, menurut analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, kemungkinan besar didorong oleh intervensi aktif Bank Indonesia di pasar valuta asing. Ia menggarisbawahi data terkini yang menunjukkan cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan menjadi US$148 miliar. Penurunan ini secara implisit menandakan adanya langkah intervensi dari bank sentral guna menjaga stabilitas nilai tukar mata uang domestik.
“Rupiah berbalik menguat karena intervensi BI, sementara dolar indeks global masih melanjutkan penguatannya,” jelas Lukman kepada Kontan.co.id, menggambarkan adanya dua kekuatan yang saling tarik menarik di pasar.
Kendati demikian, prospek rupiah untuk perdagangan Rabu, 8 Oktober 2025, diperkirakan masih akan menghadapi tekanan. Lukman memperkirakan hal ini seiring dengan memudarnya harapan akan pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Sinyal ini muncul setelah sejumlah pejabat bank sentral AS menyampaikan pernyataan bernada hawkish, yang mengindikasikan kebijakan moneter yang lebih ketat. Dalam konteks ini, Lukman memproyeksikan rupiah akan bergerak di rentang Rp 16.500–Rp 16.650 per dolar AS.
Selain faktor domestik dan kebijakan moneter AS, pergerakan rupiah juga turut dipengaruhi oleh situasi shutdown pemerintahan AS yang telah memasuki hari keenam. Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi menambahkan, kegagalan negosiasi antara Kongres dan Gedung Putih pada akhir pekan lalu telah memaksa sebagian besar instansi federal untuk berhenti beroperasi.
“Senat gagal mengumpulkan 60 suara yang dibutuhkan untuk meloloskan langkah pendanaan jangka pendek,” ungkap Ibrahim, menyoroti ketidakpastian politik di Amerika yang turut membebani sentimen pasar global.
Dari lanskap geopolitik, pasar juga mencermati perkembangan penting di Jepang. Terpilihnya Sanae Takaichi sebagai pemimpin Partai Demokrat Liberal membuka jalan baginya untuk menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang berikutnya. Takaichi dikenal sebagai pendukung setia kebijakan belanja fiskal yang agresif dan secara vokal mengkritik langkah Bank of Japan (BOJ) menaikkan suku bunga, yang ia sebut sebagai kebijakan “bodoh”. Kebijakan yang akan diambil Takaichi berpotensi membawa dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi regional.
Secara internal, Bank Indonesia (BI) turut melaporkan bahwa cadangan devisa pada akhir September 2025 tercatat sebesar US$148,7 miliar, menurun dari posisi US$150,7 miliar pada Agustus. Penurunan senilai US$2 miliar ini, menurut BI, disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah serta strategi stabilisasi nilai tukar di tengah dinamika ketidakpastian global yang masih bergejolak.
Melihat berbagai sentimen tersebut, Ibrahim Assuaibi memperkirakan bahwa rupiah pada perdagangan Rabu, 8 Oktober, akan bergerak fluktuatif, namun dengan kecenderungan melemah. Ia memproyeksikan pergerakan rupiah berada di kisaran Rp 16.560–Rp 16.600 per dolar AS.
Ringkasan
Rupiah mengalami penguatan pada perdagangan Selasa, 7 Oktober 2025, mencapai Rp 16.561 per dolar AS, diduga kuat karena intervensi Bank Indonesia (BI) di pasar valuta asing. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan cadangan devisa Indonesia menjadi US$148 miliar pada akhir September, yang digunakan untuk stabilisasi nilai tukar.
Namun, prospek rupiah pada Rabu, 8 Oktober 2025, diperkirakan masih akan menghadapi tekanan akibat sinyal *hawkish* dari pejabat The Fed dan *shutdown* pemerintahan AS. Analis memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif di kisaran Rp 16.560–Rp 16.600 per dolar AS, dipengaruhi juga oleh perkembangan geopolitik seperti terpilihnya Sanae Takaichi di Jepang dan kebijakan agresifnya.