TINS Ketiban Durian Runtuh! 6 Smelter Sitaan Dongkrak Kinerja?

Ifonti.com JAKARTA. Prospek kinerja PT Timah Tbk (TINS) diprediksi akan semakin cemerlang setelah menerima limpahan enam smelter dari pemerintah. Penyerahan aset strategis ini diyakini menjadi katalis utama yang akan memperkuat posisi perseroan dalam industri timah nasional.

Pemerintah secara resmi menyerahkan enam smelter sebagai aset barang rampasan negara (BRN) kepada TINS. Sebelumnya, keenam smelter ini disita oleh negara karena terbukti terlibat dalam aktivitas penambangan ilegal di wilayah konsesi PT Timah di Kepulauan Bangka Belitung. Nilai dari aset sitaan ini tidak main-main, mencapai Rp 6 triliun hingga Rp 7 triliun, bahkan belum termasuk kandungan tanah jarang (rare earth) atau monasit yang memiliki potensi nilai jauh lebih besar. Harga monasit sendiri disinyalir dapat mencapai US$ 200.000 per ton.

Fath Aliansyah Budiman, Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas, mengungkapkan bahwa TINS berpotensi menciptakan turnaround story yang signifikan pada semester II 2025. Perbaikan ini diharapkan terjadi setelah sebelumnya produksi perusahaan sempat terpengaruh oleh kondisi cuaca buruk di awal tahun. “Jadi ekspektasinya sudah membaik,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (7/10/2025).

Pandangan serupa datang dari Angga Septianus, Community and Retail Equity Analyst Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT). Ia menilai limpahan enam smelter ini merupakan kabar gembira yang akan menopang produksi TINS, sekaligus membuka jalan bagi perseroan untuk menguasai lebih dari 80% pangsa pasar timah di masa depan. “Market share yang sebelumnya dikuasai penambang ilegal akan bertambah ke TINS,” jelasnya kepada Kontan, pada hari yang sama.

Berdasarkan riset Tim Indo Premier Sekuritas, isu tambang ilegal telah menjadi persoalan struktural yang menghantui pertambangan timah Indonesia selama beberapa dekade. Dengan berkurangnya aktivitas ilegal, produksi TINS tercatat menunjukkan peningkatan signifikan, mencapai sekitar 1.713 ton pada Juli 2025 dan 1.877 ton. “Kami memperkirakan biaya tunai TINS (di luar royalti) tetap relatif stabil di sekitar US$20.000 per ton sebagai hasil dari berkurangnya aktivitas tambang ilegal. Ini karena posisi tawar bergeser ke TINS, bukan ke penambang ilegal,” kata Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan dalam riset mereka.

Ekky Topan, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, menambahkan bahwa penyerahan enam smelter ini adalah katalis positif yang besar dan strategis, memperkuat posisi TINS dalam rantai pasok serta kapasitas pengolahan timah nasional. Dengan tambahan smelter tersebut, TINS memiliki peluang untuk memperluas kapasitas pemurnian logam timah secara signifikan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada mitra pengolahan eksternal. “Jika mampu dioptimalkan, hal ini bisa menjadi sumber pertumbuhan pendapatan dan efisiensi margin dalam jangka menengah,” terangnya kepada Kontan, Selasa (7/10/2025).

Prospek dan Rekomendasi

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI pada 22 September 2025, TINS menunjukkan optimisme tinggi terhadap peningkatan produksi bijih timah di tahun 2026. Perseroan menargetkan produksi bijih timah dapat menembus 30.000 ton Sn di tahun depan, jauh lebih tinggi dibandingkan target Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2025 sebesar 21.500 ton Sn.

Ryan dan Reggie memproyeksikan TINS akan mengalami perbaikan laba bersih pada semester II 2025, didorong oleh volume produksi yang lebih baik. Sebagai gambaran, laba bersih TINS sempat terkoreksi 30% year-on-year (YoY) menjadi Rp 300 miliar per Juni 2025. “Laba bersih diperkirakan bisa mencapai Rp 908 miliar di akhir 2025 nanti,” pungkas mereka. Senada, Fath menggarisbawahi prospek kinerja TINS yang lebih baik, terutama dengan stabilnya harga timah internasional. “Peningkatan produksi TINS disertai harga yang baik bisa menghasilkan pendapatan yang meningkat,” katanya.

Jika pembenahan dari sisi penambangan ilegal dapat berjalan optimal, ini akan menjadi katalis yang sangat positif. Selain itu, investor juga disarankan untuk mencermati potensi pendapatan dari pengelolaan logam tanah jarang (monasit). “Apabila bisa dikelola dengan baik, logam tanah jarang bisa menjadi tambahan katalis positif untuk perusahaan,” ungkap Fath.

Secara valuasi, Ekky menilai bahwa setelah kenaikan harga yang signifikan, saham TINS saat ini berada di atas rata-rata historis, baik dari sisi price to book value (PBV) maupun price to earning ratio (PER). “Ini menunjukkan bahwa sebagian besar sentimen positif telah terefleksi dalam harga,” katanya. Namun, jika manajemen ke depan mampu memberikan rancangan (guidance) produksi dan proyeksi pendapatan baru pasca limpahan aset tersebut, valuasi masih dapat dikompensasi dengan ekspektasi pertumbuhan. “Saat ini, bisa dibilang pasar sedang ‘membayar ekspektasi’ atas potensi ke depan, bukan atas kinerja historis TINS yang sempat menurun,” jelasnya.

Melansir RTI, saham TINS ditutup menguat 19,9% ke level Rp 2.710 per saham pada akhir perdagangan hari ini (7/10/2025). Harga ini telah melonjak 68,85% dalam sepekan, 145,25% dalam sebulan, dan 153,27% year-to-date (YTD). PER TINS tercatat sebesar 33,63x dan PBV sebesar 2,77x. Secara jangka pendek, kenaikan saham TINS yang terlalu cepat rawan memicu aksi ambil untung. Namun, untuk jangka menengah, jika penguatan tersebut dikonfirmasi dengan kabar terbaru operasional smelter dan outlook produksi 2025 yang lebih jelas, TINS masih memiliki ruang kenaikan yang moderat. Level support kuat untuk TINS berada di area Rp2.000 per saham, dengan target jangka menengah di kisaran Rp3.000–3.200 per saham. “Tapi investor tetap perlu disiplin dengan manajemen risiko karena volatilitas harga logam dan ekspektasi pasar yang sangat cepat berubah,” tutup Ekky.

Sementara itu, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila, merekomendasikan buy on weakness untuk TINS dengan target harga Rp 2.800 per saham, mencerminkan keyakinan akan potensi penguatan lebih lanjut di tengah sentimen positif yang melingkupi perseroan.