Illinois secara resmi telah melayangkan gugatan hukum terhadap Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menyoal pengerahan pasukan militer federal di kota Chicago, sebuah langkah yang memicu ketegangan politik dan konstitusional. Di tengah eskalasi konflik ini, Presiden Trump sendiri dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk mengaktifkan Undang-Undang Pemberontakan, sebuah peraturan era 1800-an yang dapat memberinya kekuasaan darurat untuk mengerahkan militer di dalam negeri.
Para pemimpin Negara Bagian Illinois tidak membuang waktu, bergerak cepat ke meja hijau pada Senin (6/10) waktu Amerika Serikat, berupaya keras menghentikan niat Presiden Donald Trump mengirimkan pasukan Garda Nasional ke Chicago. Aksi hukum ini datang hanya beberapa jam setelah putusan pengadilan lain memblokir upaya serupa Trump untuk mengerahkan Garda Nasional di Portland, Oregon, mengindikasikan pola konflik serupa di berbagai negara bagian.
Pengerahan militer ini semakin memperuncing bentrokan yang telah berlangsung antara negara bagian yang didominasi Partai Demokrat dengan pemerintahan Republik di Washington, terutama dalam konteks operasi penegakan imigrasi yang dinilai agresif. Situasi ini menggarisbawahi perpecahan mendalam antara yurisdiksi lokal dan kebijakan federal yang kontroversial.
Latar belakang tindakan Trump dimulai dengan penerbitan perintah eksekutif “Protecting the American People Against Invasion” pada 20 Januari. Perintah ini secara tegas menyatakan bahwa prioritas utama pemerintah adalah penegakan hukum imigrasi secara penuh dan tindakan keras terhadap “alien inadmissible” (individu yang tidak memenuhi syarat masuk AS) serta “alien removable” (individu yang harus dideportasi).
Pada bulan Juni, Presiden Trump kemudian mengeluarkan memo yang secara khusus meminta Garda Nasional dan personel federal lainnya untuk memberikan perlindungan kepada petugas Immigration and Customs Enforcement (ICE) di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) selama operasi penegakan hukum. Ini menandai langkah konkret dalam upaya memiliterisasi penegakan imigrasi.
Dampak dari kebijakan tersebut telah terasa, dengan catatan DHS menunjukkan lebih dari 800 orang tanpa dokumen ditangkap di Illinois sebagai bagian dari operasi penegakan imigrasi yang diberi nama sandi “Midway Blitz”. Angka ini mencerminkan skala intervensi federal di negara bagian tersebut.
Di Chicago, warga menyatakan keresahan mendalam atas operasi penegakan imigrasi yang dilancarkan ICE sejak bulan sebelumnya. Agen-agen ICE dilaporkan menyasar wilayah-wilayah yang mayoritas dihuni imigran dan sebagian besar penduduk Latin, menciptakan ketakutan dan ketidakpastian di komunitas tersebut.
Sebagai respons, masyarakat setempat menggelar demonstrasi menentang kebijakan tersebut. Namun, laporan menyebutkan bahwa pasukan militer yang dikerahkan menggunakan “kekuatan tanpa pandang bulu” dan “kekerasan” yang mencakup gas air mata, peluru karet, peluru merica, dan granat kejut, tindakan yang dinilai melanggar hak-hak Amandemen Pertama Konstitusi AS.
Sementara itu, Pemerintahan Trump justru menggambarkan Illinois dan Chicago sebagai kota yang dilanda perang dan tanpa hukum, seolah membenarkan perlunya intervensi militer di tengah operasi penegakan imigrasi yang sedang berlangsung. Narasi ini kontras dengan pandangan pemerintah negara bagian.
Krisis ini bukan hanya terjadi di Illinois. Dokumen pengadilan yang diajukan dalam gugatan terkait mobilisasi pasukan di Portland, Oregon, bahkan mengungkapkan bahwa pengerahan 300 pasukan Garda Nasional federal di California telah diperpanjang hingga Januari 2026, menunjukkan jangkauan luas kebijakan ini. Informasi ini dikutip dari The New York Times, Senin (6/10) waktu AS.
Namun, para pejabat di Illinois dan Oregon bersikukuh bahwa intervensi militer tidak diperlukan dalam operasi penegakan imigrasi. Mereka justru menilai keterlibatan federal hanya memperburuk situasi dan merusak kepercayaan publik, sehingga semakin memprovokasi ketegangan.
Oleh karena itu, dalam gugatannya, Pemerintah Illinois menuduh kebijakan tersebut melanggar hukum dan berbahaya. Gubernur Illinois JB Pritzker, seorang politisi dari Partai Demokrat, mengumumkan bahwa sidang pengadilan pertama dijadwalkan pada Kamis (9/10), menandakan dimulainya pertarungan hukum yang signifikan.
Dengan tegas, Pritzker menyatakan bahwa Donald Trump “menggunakan anggota militer sebagai alat politik dan pion dalam upaya ilegal untuk memiliterisasi kota-kota di AS,” sebuah kecaman keras terhadap motivasi di balik pengerahan pasukan.
Pritzker juga mengungkapkan bahwa sekitar 300 pasukan penjaga negara akan difederalisasi dan dikerahkan ke Chicago, ditambah dengan 400 lainnya dari Texas. Ia menyebut langkah ini sebagai “invasi Trump” dan mendesak Gubernur Texas Greg Abbott dari Partai Republik untuk memblokir pengerahan tersebut. Namun, Abbott menolak, menilai tindakan Trump diperlukan untuk melindungi para pekerja federal.
Juru bicara Gedung Putih, Abigail Jackson, mengonfirmasi bahwa Presiden Trump telah mengizinkan penggunaan anggota Garda Nasional Illinois. Jackson beralasan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada “kerusuhan dan pelanggaran hukum yang terus-menerus yang belum dipadamkan oleh para pemimpin setempat,” sebuah pembenaran yang kontroversial di mata oposisi.
Trump Kaji Pakai UU Pemberontakan
Dalam perkembangan lain yang signifikan, Presiden Trump pada Senin (6/10) mengumumkan bahwa ia akan mempertimbangkan untuk menerapkan Undang-Undang Pemberontakan, sebuah regulasi kuno yang berasal dari tahun 1807. Undang-undang ini secara historis memberikan presiden kekuasaan darurat untuk mengerahkan pasukan militer di dalam wilayah Amerika Serikat tanpa persetujuan negara bagian.
Menurut laporan The New York Times, penggunaan UU Pemberontakan ini dapat menjadi strategi bagi Trump untuk menghindari putusan pengadilan baru-baru ini yang telah memblokir upayanya mengerahkan Garda Nasional di kota-kota besar. Ini menunjukkan keinginan pemerintahan Trump untuk menemukan celah hukum di tengah tantangan yudisial yang semakin intens.
“UU Pemberontakan merupakan cara untuk menghindari penentangan terhadap pengerahan pasukan,” kata Trump dalam sebuah tayangan di televisi lokal Newsmax, seperti dikutip dari The New York Times. Ia menambahkan dengan nada kondisional, “Jika kita tidak harus menggunakannya, saya tidak akan menggunakannya,” mengindikasikan bahwa ini adalah pilihan terakhir.
Undang-undang kontroversial ini terakhir kali diaktifkan oleh Presiden George H.W. Bush pada tahun 1992, atas permintaan Gubernur California kala itu. Penerapan UU ini bertujuan meredam kerusuhan Los Angeles pasca-putusan kasus pemukulan Rodney King, seorang pria Afrika-Amerika yang dipukuli oleh polisi pada tahun 1991, memberikan preseden sejarah yang kuat bagi penggunaannya dalam situasi darurat domestik.
Ringkasan
Illinois menggugat Presiden Donald Trump terkait pengerahan pasukan militer federal ke Chicago, yang dianggap memicu ketegangan politik dan konstitusional. Gugatan ini muncul setelah perintah eksekutif Trump terkait penegakan hukum imigrasi yang agresif, yang menyebabkan penangkapan ratusan imigran di Illinois. Pemerintah Illinois menuduh kebijakan Trump melanggar hukum dan berbahaya, serta menggunakan militer sebagai alat politik.
Trump mempertimbangkan Undang-Undang Pemberontakan, yang memberikan kekuasaan darurat untuk mengerahkan militer di dalam negeri tanpa persetujuan negara bagian. Langkah ini dilihat sebagai upaya menghindari putusan pengadilan yang memblokir pengerahan Garda Nasional di kota-kota besar. Undang-undang ini terakhir kali digunakan pada tahun 1992 untuk meredam kerusuhan Los Angeles.