IHSG Menguat ke Posisi 8.201,14, Cadangan Devisa Indonesia Turun jadi USD 148 Miliar

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan performa positif pada perdagangan Rabu (8/10). Penguatan ini didorong oleh optimisme yang meningkat seiring revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 dan 2026.

Pada pembukaan perdagangan pagi, IHSG berhasil menguat 31,86 poin atau 0,39 persen, mencapai posisi 8.201,14. Senada, indeks LQ45, yang mencakup 45 saham unggulan, juga menunjukkan kenaikan sebesar 2,63 poin atau 0,33 persen, bertengger di level 788,00.

Menurut Kepala Riset Phintraco Sekuritas, Ratna Lim, dalam kajiannya di Jakarta pada Rabu (8/10), IHSG berpotensi melanjutkan tren penguatannya menuju level tertinggi 8.217. “Jika IHSG mampu bertahan di atas level 8.200-8.217 dengan dukungan volume transaksi yang memadai, maka sinyal bullish akan semakin kuat,” ujarnya, memberikan indikasi arah pergerakan pasar ke depan.

Optimisme pasar semakin terpacu oleh langkah Bank Dunia yang menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk tahun 2025, Bank Dunia kini memproyeksikan pertumbuhan sebesar 4,8 persen year on year (yoy), lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang hanya 4,7 persen (yoy). Sementara itu, untuk tahun 2026, prediksi tetap di angka 4,8 persen (yoy), sama seperti proyeksi untuk tahun ini.

Namun demikian, ada sisi lain yang patut diperhatikan. Cadangan devisa Indonesia tercatat mengalami penurunan signifikan per September 2025, menyentuh angka USD 148,7 miliar. Angka ini lebih rendah dibandingkan USD 150,7 miliar pada Agustus 2025, dan merupakan level terendah sejak Juli 2024. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh pembayaran utang pemerintah serta upaya kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Dari kancah global, perhatian tertuju pada shutdown pemerintah AS yang telah memasuki pekan kedua. Presiden AS Donald Trump mengisyaratkan kesediaannya untuk mencapai kesepakatan terkait pendanaan subsidi layanan kesehatan, sebuah tuntutan penting dari Partai Demokrat, menyusul kegagalan pemungutan suara di Senat untuk mengakhiri penutupan pemerintahan.

Situasi shutdown AS ini menimbulkan kekhawatiran di pasar keuangan global. Penundaan rilis data ekonomi utama berpotensi menyulitkan pelaku pasar dan pembuat kebijakan The Fed dalam memproyeksikan arah suku bunga AS ke depan. Kondisi ini memaksa para pelaku pasar dan pejabat The Fed untuk mencari data alternatif, seringkali dari sumber-sumber swasta.

Kinerja pasar global pada perdagangan Selasa (07/10) menunjukkan variasi. Bursa saham Eropa ditutup mayoritas menguat, meskipun indeks Euro Stoxx 50 melemah 0,33 persen. Kontras dengan itu, indeks FTSE 100 Inggris menguat 0,05 persen, indeks DAX Jerman naik 0,03 persen, dan indeks CAC Prancis juga menguat 0,04 persen. Di sisi lain, bursa saham AS di Wall Street ditutup melemah. Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 91,99 poin atau 0,20 persen ke level 46.602,98, indeks S&P 500 turun 0,38 persen ke 6.714,59, dan indeks Nasdaq Composite melemah 0,67 persen, ditutup di 22.788,36.

Adapun di kawasan Asia, bursa saham regional Asia pada perdagangan pagi ini menunjukkan pergerakan yang bervariasi. Indeks Nikkei Jepang menguat 30,12 poin atau 0,07 persen ke 47.976,00, sementara indeks Shanghai Tiongkok naik 20,25 poin atau 0,52 persen ke 3.882,78. Berbanding terbalik, indeks Hang Seng Hong Kong melemah 257,77 poin atau 0,95 persen ke 26.708,50, dan indeks Strait Times Singapura turun 16,98 poin atau 0,38 persen ke 4.455,07.