Harga emas dunia terus menunjukkan dominasinya, menorehkan rekor tertinggi yang memukau sepanjang masa. Lonjakan nilai komoditas berharga ini sempat memicu euforia pada saham-saham produsen emas, membawa mereka melesat tajam. Namun, kini muncul sinyal-sinyal koreksi yang patut dicermati, didorong oleh faktor teknikal maupun fundamental yang saling berkelindan.
Berdasarkan data Trading Economics, harga emas global berada di posisi US$ 4.040,69 per ons troi pada Kamis (9/10/2025) pukul 17.55 WIB. Angka ini memang melemah tipis 0,05% dari penutupan sebelumnya, namun perlu dicatat bahwa dalam sebulan terakhir, harga emas telah menguat impresif sebesar 10,95%, mencerminkan performa yang sangat kuat.
Paradoksnya, pergerakan saham-saham emiten emas tidak seluruhnya sejalan dengan reli memukau tersebut pada hari Kamis (9/10/2025). Saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) terkoreksi 3,30% menjadi Rp 3.220, PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) anjlok 3,95% ke Rp 1.095, dan PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) melemah 3,64% ke Rp 1.060 per saham. Penurunan serupa juga menimpa PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) yang susut 1,05% ke Rp 945, serta PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) yang tertekan 4,84% ke Rp 590 per saham. Bahkan, PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) tidak luput dari koreksi, turun 3,36% menjadi Rp 4.310. Di tengah gelombang koreksi ini, hanya PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang mampu bertahan, justru naik 0,88% ke level Rp 2.300 per saham.
Koreksi yang terjadi pada Kamis ini menjadi kontras dengan performa sehari sebelumnya. Pada Rabu (8/10/2025), saham-saham emiten emas sempat melesat setelah harga emas menembus level psikologis US$ 4.000 per ons troi. ARCI mencatat kenaikan tertinggi 10,14%, diikuti HRTA 7,84%, ANTM 6,05%, PSAB 5,98%, EMAS 2,53%, dan MDKA 1,79%. Ini menunjukkan volatilitas tinggi pada sektor ini.
Menjelaskan fenomena ini, Research Analyst Bumiputera Sekuritas, Muhammad Thoriq Fadilla, mengungkapkan bahwa hubungan antara harga emas dunia dan saham produsen emas tidak selalu berjalan searah. “Pergerakan harga saham produsen emas sebenarnya tidak selalu dipengaruhi oleh harga komoditas emas itu sendiri,” ujarnya, Kamis (9/10/2025). Thoriq menilai, aksi jual yang dilakukan investor asing menjadi salah satu pemicu tekanan jual belakangan ini. Ia juga menambahkan bahwa pergerakan harga saham mulai terasa berat setelah mengalami reli panjang sebelumnya. “Ini wajar karena setelah mengalami kenaikan signifikan, pelaku pasar biasanya melakukan aksi ambil untung untuk mengamankan modalnya,” kata dia.
Data terbaru memperkuat argumen Thoriq: harga saham ANTM dan MDKA masing-masing telah terkoreksi 10,80% dan 12,88% dalam sebulan terakhir. Padahal, pada periode yang sama, harga emas global justru melonjak 10,95%. Perbedaan mencolok ini menggarisbawahi kompleksitas dinamika pasar saham dan komoditas.
Sementara itu, Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, mengemukakan pandangan lain yang tak kalah menarik. Ia menilai bahwa reli harga saham emas biasanya mendahului kenaikan harga emas dunia. “Kenaikan harga saham emiten emas biasanya sudah mendahului harga emas global. Sebab, para pelaku pasar sudah lebih dahulu mengekspektasikan tren bullish harga emas sejak beberapa waktu lalu,” jelasnya. Oleh karena itu, menurut Ekky, sangat wajar jika setelah harga emas menembus US$ 4.000, investor memilih untuk melakukan profit taking. “Setelah euforia yang cukup panjang, wajar apabila muncul fase konsolidasi seperti yang terlihat beberapa hari terakhir,” imbuh dia.
Meskipun terjadi koreksi jangka pendek, dari sisi fundamental, harga emas yang tinggi tetap menjadi angin segar bagi kinerja keuangan emiten emas dalam jangka menengah. Margin keuntungan berpotensi meningkat signifikan, terutama bagi perusahaan dengan cadangan besar dan efisiensi biaya operasional yang baik. Namun, tantangan tetap membayangi, seperti kenaikan biaya produksi dan ketergantungan terhadap bahan baku impor yang rentan terhadap fluktuasi kurs. “Walau demikian, tantangan ini masih wajar, karena secara umum laba perusahaan emas tetap menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun, meski biaya produksi dan beban usaha ikut meningkat,” terang Thoriq, memberikan gambaran yang lebih seimbang.
Thoriq juga berpendapat bahwa saham emiten emas dan instrumen berbasis emas memiliki karakteristik yang berbeda. Harga saham produsen emas tampak lebih fluktuatif, tetapi menawarkan potensi capital gain yang lebih besar tanpa harus berhadapan dengan selisih harga jual dan beli seperti emas batangan. Di sisi lain, emas batangan memiliki harga yang cenderung lebih stabil, sehingga lebih cocok bagi investor pemula yang mencari instrumen lindung nilai untuk aset mereka.
Dengan demikian, peluang investasi di saham emiten emas masih terbuka lebar, terutama jika harga saham bergerak sideways atau berada di level yang wajar. Saham emas yang terlihat bergerak lamban biasanya tetap berpeluang naik secara bertahap jika berkaca dari pergerakan historisnya. “Namun, investor perlu hati-hati agar tidak masuk ketika harga saham sudah terlalu tinggi karena risiko capital loss akan makin besar,” tutur Thoriq, mengingatkan tentang pentingnya manajemen risiko.
Dari sisi prospek, Ekky menilai saham-saham emas tetap menjanjikan, terutama bagi emiten dengan fundamental kuat dan valuasi menarik. “Oleh karena itu, investor sebaiknya fokus pada emiten yang memiliki fundamental kuat, efisiensi tinggi, valuasi masih relatif murah, dan proyek ekspansi yang berkelanjutan,” jelas dia. Untuk jangka pendek, Ekky merekomendasikan saham MDKA dan PSAB karena keduanya baru menunjukkan momentum kenaikan, dengan target harga MDKA menuju Rp 3.000 dan PSAB ke Rp 700 per saham.
Sejalan dengan itu, Thoriq juga menyarankan PSAB dan ANTM sebagai pilihan menarik untuk dicermati. Ia menargetkan harga PSAB di Rp 700 dengan stop loss Rp 580, sedangkan ANTM ditargetkan ke Rp 3.600 per saham dengan stop loss di level Rp 3.170. Rekomendasi ini memberikan panduan strategis bagi para investor yang ingin memanfaatkan dinamika pasar emas saat ini.