Saham Defensif: Lindungi Investasi dari Krisis Global!

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tensi geopolitik yang memanas antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali menjadi pemicu utama lonjakan ketidakpastian di panggung global. Gejolak ini sontak menciptakan riak-riak di pasar keuangan, mendorong investor untuk mencari perlindungan di aset-aset yang lebih stabil.

Dampak langsung dari situasi ini terlihat jelas pada pergerakan pasar saham regional Asia dan Pasifik, yang kompak melemah pada penutupan perdagangan Senin (13/10/2025). Indeks Hang Seng Hong Kong tergelincir 1,52% ke level 25.889, sementara Indeks Shanghai Composite China juga terkoreksi 0,19% menjadi 3.889. Tak hanya itu, Indeks Straits Times Singapura melemah 0,84% ke posisi 4.389,83, Indeks Kospi Korea Selatan terkikis 0,72% ke 3.584, Indeks Taiex Taiwan anjlok 1,39% ke 26.923, dan ASX200 Australia turun 0,84% ke 8.882.

Koreksi ini turut menyeret pasar saham domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan Senin (13/10/2025) ditutup melemah 0,37%, mengakhiri sesi di posisi 8.227,2. Ketidakpastian global yang meningkat akibat konflik geopolitik mendorong investor untuk lebih selektif dalam memilih instrumen investasi mereka.

Menanggapi kondisi pasar yang bergejolak, Customer Engagement and Market Analyst Department Head BRI Danareksa Sekuritas, Chory Agung Ramdhani, menjelaskan bahwa investor cenderung beralih ke saham-saham dengan volatilitas rendah dan fundamental yang kuat. Menurutnya, ada beberapa saham defensif yang patut menjadi perhatian di tengah situasi ini.

Dari sektor poultry, Chory menyoroti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) sebagai pilihan menarik. Kebutuhan protein yang bersifat inelastis membuat sektor ini cenderung tahan terhadap gejolak ekonomi. Selain itu, stabilisasi harga jagung dan pemulihan permintaan menjadi katalis positif bagi kinerja perusahaan. Secara valuasi, saham di sektor peternakan seperti CPIN dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dinilai masih tergolong murah dibandingkan rata-rata historisnya.

Sementara itu, dari sektor properti, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) menjadi rekomendasi yang menarik. Chory melihat prospek sektor ini menjanjikan seiring potensi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Likuiditas yang lebih longgar diharapkan akan mendorong permintaan rumah dan apartemen, khususnya di segmen menengah. Perusahaan di sektor ini juga memiliki manajemen keuangan yang solid dengan rasio utang yang sehat.

Tidak ketinggalan, sektor perbankan besar juga memiliki daya tarik. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi pilihan utama. Chory menegaskan bahwa sektor perbankan tetap menjadi tulang punggung perekonomian domestik. Dengan valuasi yang sudah berada di bawah rata-rata lima tahun terakhir dan kualitas aset yang terjaga, saham-saham bank besar dinilai layak untuk dikoleksi secara bertahap, terutama bagi investor yang berorientasi jangka menengah hingga panjang. Secara prospek, saham-saham tersebut cenderung stabil dan berpotensi mengungguli kinerja indeks jika volatilitas global meningkat. “Sektor poultry dan properti akan diuntungkan oleh tren penurunan suku bunga, sementara perbankan besar diperkirakan tetap membukukan pertumbuhan laba yang solid berkat efisiensi dan ekspansi kredit konsumtif,” ujar Chory kepada Kontan, Senin (13/10/2025).

Pandangan lain datang dari Head of Research KISI Sekuritas, Muhammad Wafi, yang juga membagikan daftar saham defensif menarik. Ia merekomendasikan saham-saham dari sektor konsumsi primer seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Selain itu, ia juga merekomendasikan sektor telekomunikasi melalui saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan sektor kesehatan seperti PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL) dan PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO).

Wafi mengungkapkan bahwa kinerja sektor-sektor tersebut relatif stabil karena didorong oleh konsumsi domestik, bukan ekspor. Hal ini membuat mereka tidak terlalu terdampak isu geopolitik atau fluktuasi global. Selain itu, saham-saham ini memiliki arus kas (cash flow) yang kuat dan imbal hasil dividen (dividend yield) yang menarik. “Cocok buat jaga portofolio saat market rawan profit taking,” ujar Wafi kepada Kontan, Senin (13/10). Prospek saham-saham ini dinilai masih menjanjikan, apalagi jika inflasi tetap terkendali dan suku bunga mulai turun. Secara rinci, sektor konsumer berpotensi rebound di akhir kuartal tahun 2025 seiring naiknya belanja akhir tahun, sementara TLKM diuntungkan tren digitalisasi dan peningkatan trafik data. Saham kesehatan juga mulai recovery setelah tekanan margin di awal tahun.

Oleh karena itu, Wafi menyarankan pelaku pasar untuk tetap mencermati saham-saham defensif hingga volatilitas global mereda, minimal sampai awal tahun 2026, saat arah suku bunga global dan kondisi geopolitik menjadi lebih jelas. Setelah fase tersebut, investor dapat mulai mempertimbangkan rotasi ke sektor siklikal.

Sebagai panduan lebih lanjut, Chory membagikan rekomendasi saham untuk jangka waktu 6 hingga 12 bulan ke depan, yaitu CPIN dengan target harga Rp 6.400, CTRA dengan target harga Rp 1.600, dan BBCA dengan target harga Rp 11.900 per saham. Sementara itu, Wafi menyarankan buy saham ICBP di target harga Rp 9.800, TLKM di Rp 3.500, UNVR di Rp 2.400, dan HEAL di Rp 1.650 per saham.

Ringkasan

Ketegangan geopolitik global menyebabkan investor mencari aset yang lebih stabil, dengan fokus pada saham defensif. Beberapa saham yang direkomendasikan meliputi sektor poultry (CPIN dan JPFA), properti (CTRA), dan perbankan besar (BBCA). Saham-saham ini dinilai memiliki fundamental yang kuat dan valuasi yang menarik di tengah ketidakpastian pasar.

Selain itu, sektor konsumsi primer (ICBP, INDF, UNVR), telekomunikasi (TLKM), dan kesehatan (HEAL, SILO) juga direkomendasikan karena kinerja yang stabil didorong oleh konsumsi domestik. Saham-saham defensif ini cocok untuk menjaga portofolio saat pasar bergejolak, dengan rekomendasi target harga yang diberikan untuk periode 6 hingga 12 bulan ke depan.