Sektor industri minyak kelapa sawit (CPO) nasional tengah dilanda gejolak. Sejumlah emiten CPO produsen minyak kelapa sawit ramai-ramai memberikan klarifikasi terkait kepemilikan lahan mereka di kawasan hutan. Isu ini mencuat menyusul diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 yang mengatur sanksi administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor kehutanan. Berdasarkan keterbukaan informasi di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), asumsi denda maksimal dapat mencapai Rp 25 juta per hektare per tahun sejak awal penguasaan lahan.
Mayoritas emiten CPO secara tegas menyatakan tidak memiliki lahan di kawasan hutan tanpa perizinan yang sah. Namun, tidak sedikit pula yang mengakui bahwa perubahan kebijakan pemerintah telah menyebabkan sebagian kepemilikan lahan mereka kini teridentifikasi berada dalam kawasan hutan.
Di antara emiten yang memberikan klarifikasi adalah PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (NSSS), PT Pradiksi Gunatama Tbk (PGUN), dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT). Kasus masing-masing emiten ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas persoalan lahan di sektor kelapa sawit.
PGUN, misalnya, menjelaskan bahwa berdasarkan izin usaha yang mereka miliki, perseroan awalnya tidak memiliki lahan kelapa sawit yang berada atau ditanami di dalam kawasan hutan. Namun, berdasarkan undangan klarifikasi dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) pada 14 Maret 2025 dan notulensi pertemuan tindak lanjut pada 20 Maret 2025, ditemukan indikasi bahwa sebagian lahan dalam Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 10/Kerang seluas 16.404,4059 hektare atas nama PT Senabangun Anekapertiwi terindikasi berada dalam kawasan hutan. Direktur Utama PGUN, Khairuddin Simatupang, menegaskan bahwa perusahaan tersebut telah efektif bergabung ke dalam PGUN sejak 22 Desember 2022.
Perlu ditegaskan bahwa lahan tersebut belum ditetapkan sebagai kawasan hutan pada saat HGU Nomor 10/Kerang diterbitkan tanggal 18 April 1998, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peta Gambar Situasi No.2/1998 dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 8/HGU/BPN/98. Kategori lahan yang masuk kawasan hutan baru ditetapkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6628/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021 tanggal 27 Oktober 2021, sebagaimana tercatat dalam Notulensi Tindak Lanjut tanggal 20 Maret 2025.
Oleh karena itu, PGUN mengklaim telah memperoleh hak, menguasai, memanfaatkan, atau mengelola lahan tersebut berdasarkan izin usaha yang sah sesuai peruntukannya sebelum lahan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan. Saat ini, status lahan tersebut masih dalam proses penyelesaian penguasaan tanah atau pengeluaran lahan dari kawasan hutan bersama instansi terkait. Seluruh lahan yang dimaksud berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur, dengan rincian: pertama, cagar alam seluas 419,025 hektare yang tidak dimanfaatkan atau ditanami sawit; kedua, hutan produksi seluas 298,071 hektare, dengan 86,15 hektare dimanfaatkan dan ditanami sawit oleh masyarakat, 67,92 hektare dimanfaatkan dan ditanami sawit oleh perusahaan, dan 144,001 hektare yang merupakan semak belukar. Meskipun demikian, Sekretaris Perusahaan PGUN, Muhammad Reza, menegaskan bahwa belum ada tagihan kepada perseroan untuk kewajiban pembayaran denda lahan sawit akibat perubahan ketentuan dalam proses perizinan lahan tersebut. Ia meyakini, proses ini tidak akan mengganggu kinerja operasional karena nilainya tidak material.
Berbeda dengan PGUN, PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (NSSS) mengakui secara terbuka bahwa perseroan memang memiliki lahan kelapa sawit di dalam kawasan hutan tanpa perizinan yang sah. Luas lahan yang masih dalam proses verifikasi ini terletak di Provinsi Kalimantan Tengah. Namun, NSSS belum mendapatkan surat lebih lanjut terkait pengenaan denda tersebut. Direktur NSSS, Kurniadi Patriawan, menyatakan bahwa perseroan belum dapat melakukan estimasi mengenai dampak material dari potensi denda tersebut terhadap laporan keuangan, khususnya pada pos aset, kewajiban kontinjensi, dan laba bersih tahunan.
Sementara itu, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) juga mengindikasikan adanya potensi area lahan perseroan yang saat ini teridentifikasi dalam kawasan hutan dan belum memiliki perizinan. Namun, ANJT menegaskan bahwa hal tersebut bukan disebabkan unsur kesengajaan, melainkan merupakan konsekuensi dari penetapan atau perubahan status kawasan hutan oleh Pemerintah setelah perizinan usaha perseroan diperoleh. Informasi detail mengenai luasan dan lokasi area masih dalam proses verifikasi dan penyelesaian melalui mekanisme resmi di instansi terkait. Secara proporsional, ANJT meyakini bahwa luasan area tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap total area operasional maupun keberlangsungan usaha perseroan secara keseluruhan.
Menyikapi dinamika ini, para analis pasar modal mulai memberikan pandangan mereka mengenai dampak isu denda lahan sawit terhadap sektor emiten CPO. Abdul Azis Setyo, Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, mencermati bahwa pelaku pasar masih mengapresiasi kenaikan harga CPO yang saat ini berada di level MYR 4.460 per ton. Ia menilai, isu denda lahan konservasi belum menjadi sentimen negatif yang besar selama perusahaan terdampak bersikap kooperatif. Namun, Azis mengingatkan bahwa jika isu ini ke depan berdampak pada izin operasional, hal itu bisa memicu tekanan baru bagi sektor sawit.
Senada, Equity Analyst Phillip Sekuritas, Marvin Lievincent, berpendapat bahwa untuk jangka pendek, kasus ini kemungkinan belum akan terasa dampak fundamentalnya karena belum ada tindak lanjut konkret. Namun, untuk jangka panjang, jika masalah ini terus bereskalasi, potensi kelangkaan suplai akibat berkurangnya lahan sawit para emiten bisa muncul. Meskipun demikian, Marvin optimistis bahwa sektor CPO ke depan masih tetap bullish, didorong oleh permintaan minyak kelapa sawit yang bagus dan stabil, sementara suplainya cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, juga melihat bahwa denda atas kebun sawit di lahan konservasi memang menimbulkan tekanan jangka pendek bagi emiten CPO, namun dampaknya terhadap fundamental perusahaan dinilai relatif terbatas. Menurut Abida, denda ini bersifat one-off atau hanya sekali bayar, sehingga tidak akan menjadi beban berulang yang menggerus profitabilitas jangka panjang. Pengaruh utamanya hanya akan terlihat pada penurunan laba bersih dan ekuitas di periode pembukuan tertentu. Dengan harga CPO yang masih tinggi di kisaran MYR 4.520 per metrik ton, emiten CPO besar dengan arus kas yang baik tentu cukup kuat untuk menyerap denda tersebut tanpa mengganggu kelangsungan operasional. Risiko yang lebih nyata justru ada pada tekanan likuiditas jangka pendek jika pembayaran harus dilakukan sekaligus. Selain itu, implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 dan PP Nomor 45 Tahun 2025 diperkirakan akan berjalan bertahap dan masih terbuka ruang negosiasi hukum, memberikan waktu bagi emiten untuk menyesuaikan skema pembayaran. Oleh karena itu, Abida menyimpulkan bahwa isu ini lebih bersifat sementara dan berpotensi menciptakan volatilitas harga saham CPO jangka pendek, tanpa mengubah prospek positif sektor yang tetap ditopang oleh kuatnya harga komoditas.
Prospek dan Rekomendasi
Beranjak ke prospek ke depan, Abida Massi Armand memproyeksikan kinerja emiten CPO pada kuartal III 2025 akan sangat kuat, mengingat periode tersebut merupakan puncak musim produksi. Didukung oleh harga CPO yang tinggi, laba bersih emiten kemungkinan akan melonjak signifikan secara kuartalan. Memasuki kuartal keempat, produksi biasanya menurun secara musiman. Namun, fenomena La NiƱa yang diprediksi berlangsung hingga awal 2026 berpotensi menekan pasokan dan menjaga harga CPO tetap tinggi, sehingga margin keuntungan tetap solid. Menjelang 2026, katalis struktural penting akan muncul dari implementasi program biodiesel B50 pada paruh kedua tahun tersebut. Kebijakan ini diperkirakan akan mengalihkan sekitar 5,3 juta ton CPO dari ekspor ke pasar domestik untuk kebutuhan energi, menciptakan price floor baru yang akan menopang harga CPO global. Kombinasi harga CPO tinggi, meningkatnya permintaan domestik, dan melemahnya rupiah akan semakin memperkuat kinerja sektor ini secara keseluruhan.
Meskipun prospeknya cerah, beberapa risiko tetap perlu diwaspadai, seperti denda konservasi, regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR), stagnasi produktivitas lahan, dan potensi tekanan fiskal terhadap Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun, secara keseluruhan, periode 2025-2026 berpotensi menjadi fase bullish bagi sektor CPO. Dalam konteks ini, TBLA, SIMP, dan LSIP menjadi kandidat unggulan berkat valuasi rendah, integrasi vertikal yang kuat, serta kekuatan di lini hilirisasi.
Abida menambahkan, secara valuasi, emiten CPO dengan prospek price to earning ratio (PER) 2026 di bawah 6x masih menawarkan peluang rerating besar seiring dengan prospek harga CPO yang kuat dan implementasi kebijakan B50. Ia menempatkan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) sebagai top pick dengan valuasi paling murah di kisaran 5x serta keunggulan di lini hilir sebagai bagian dari Grup Wilmar. Kemudian, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) juga direkomendasikan beli dengan forward PER masing-masing 5,4x dan 5,7x, didukung oleh integrasi vertikal dan efisiensi Grup Salim. Sementara itu, saham DSNG dan TAPG direkomendasikan hold karena valuasi mereka sudah mencerminkan premium dibandingkan peers-nya.
Senada dengan Abida, Azis Setyo juga melihat kinerja emiten sawit pada kuartal III dan IV 2025 masih berpotensi mencatatkan kinerja positif. Kenaikan average selling price (ASP) diyakini akan mendorong peningkatan pendapatan, sementara penerapan B40 (yang akan berlanjut ke B50) akan menjaga dan meningkatkan permintaan atau volume. Oleh karena itu, Azis merekomendasikan beli untuk saham LSIP dengan target harga Rp 1.460 per saham.
Ringkasan
Sektor CPO tengah menghadapi isu kepemilikan lahan di kawasan hutan setelah terbitnya PP Nomor 45 Tahun 2025. Beberapa emiten CPO seperti PGUN, NSSS, dan ANJT memberikan klarifikasi terkait kepemilikan lahan, yang mana sebagian terindikasi berada di kawasan hutan akibat perubahan kebijakan pemerintah. Analis pasar modal menyoroti dampak isu denda lahan sawit, di mana jika berdampak pada izin operasional, hal itu bisa memicu tekanan baru bagi sektor sawit.
Prospek emiten CPO diproyeksikan kuat pada kuartal III 2025 didorong oleh harga CPO yang tinggi dan puncak musim produksi. Implementasi program biodiesel B50 pada 2026 diperkirakan akan mendukung harga CPO global. Analis merekomendasikan saham TBLA, SIMP, dan LSIP karena valuasi rendah dan integrasi vertikal yang kuat, serta merekomendasikan beli untuk saham LSIP dengan target harga Rp 1.460 per saham.