Ifonti.com JAKARTA — Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini mengumumkan revisi kenaikan pada proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 menjadi 3,2%, sedikit lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 3,0% pada Juli 2025. Kabar baik ini menandai perbaikan kedua sejak April, menunjukkan resiliensi ekonomi dunia yang lebih baik dari perkiraan.
Namun, optimisme tersebut dibayangi oleh peringatan serius dari Kepala Ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas. Ia menyoroti potensi perang dagang baru antara Amerika Serikat dan China, yang jika terealisasi, dapat memberikan tekanan signifikan terhadap output ekonomi dunia dan membalikkan momentum positif ini.
Revisi positif ini, yang dirilis melalui laporan terbaru World Economic Outlook (WEO), didorong oleh penilaian IMF bahwa dampak tarif global serta kondisi keuangan ternyata lebih ringan dari proyeksi awal. Meskipun ada peningkatan, Gourinchas tetap mengingatkan, “Kesimpulannya tidak seburuk yang kami takutkan, tetapi masih lebih buruk dari yang kami harapkan setahun lalu dan lebih buruk dari yang dibutuhkan dunia,” sebuah pernyataan yang disampaikannya menjelang Pertemuan Tahunan IMF–Bank Dunia pekan ini. Untuk tahun 2026, IMF mempertahankan proyeksi pertumbuhan global pada angka 3,1%.
IMF mengidentifikasi beberapa faktor kunci di balik ketahanan ekonomi global yang meningkat. Ini termasuk tarif impor yang lebih rendah dari yang diperkirakan, kemampuan adaptasi sektor swasta yang cepat dalam mengalihkan rantai pasok, pelemahan nilai dolar AS, implementasi stimulus fiskal yang efektif di Eropa dan China, serta lonjakan signifikan dalam investasi di sektor kecerdasan buatan (AI).
: IMF: Sikap Negara-Negara Tak Balas Tarif Trump Jaga Ketahanan Ekonomi Dunia
Namun, bayangan ancaman proteksionisme kembali mencuat setelah Presiden Trump pada Jumat (10/10/2025) mengumumkan niatnya untuk mengenakan tarif 100% pada produk-produk China. Angka ini jauh melampaui tarif rata-rata saat ini sebesar 55%, dan merupakan respons terhadap langkah Beijing memperluas kontrol ekspor atas rare earth elements (logam tanah jarang). Eskalasi ini memicu kekhawatiran akan pecahnya perang dagang skala penuh, meskipun Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan bahwa pembicaraan sedang berlangsung untuk meredakan ketegangan dan mencegah dampak yang lebih besar.
: : IMF Katrol Prospek Pertumbuhan Ekonomi Global, Peringatkan Dampak Proteksionisme AS
Gourinchas memperingatkan bahwa “Jika ancaman itu terwujud, risikonya akan sangat besar bagi ekonomi global.” Ia menambahkan bahwa lonjakan tarif semacam itu tidak hanya akan memangkas proyeksi pertumbuhan, tetapi juga akan memperburuk ketidakpastian investasi di seluruh dunia. Untuk memahami potensi dampaknya, IMF melakukan simulasi skenario risiko yang mengkhawatirkan.
: : Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia Dibayangi Babak Baru Perang Dagang AS-China
Simulasi IMF menunjukkan bahwa dalam skenario di mana tarif global meningkat 30 poin persentase terhadap produk China, serta 10 poin terhadap Jepang, kawasan euro, dan pasar Asia berkembang, pertumbuhan global pada tahun 2026 berpotensi turun sebesar 0,3 poin persentase. Dampak negatif ini diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 0,6 poin pada tahun 2028. Lebih jauh lagi, jika efek lanjutan seperti kenaikan inflasi, suku bunga, dan penurunan permintaan aset AS turut diperhitungkan, penurunan PDB global bisa mencapai 1,2 poin pada 2026 dan bahkan 1,8 poin pada 2027, menunjukkan betapa parahnya potensi konsekuensi.
Beralih ke skenario dasar yang mengasumsikan tidak ada perang dagang baru, ekonomi AS diproyeksikan tetap tangguh. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS mencapai 2,0% pada 2025, naik dari 1,9% pada Juli, dan 2,1% pada 2026. Proyeksi optimis ini didukung oleh kebijakan pemangkasan pajak dari Partai Republik, kondisi keuangan yang lebih longgar, serta lonjakan investasi signifikan di sektor AI. Meskipun demikian, angka-angka ini masih berada di bawah capaian pertumbuhan 2024 yang mencapai 2,8%.
Di Eropa, zona Euro diproyeksikan tumbuh 1,2% pada 2025, naik dari 1,0% pada Juli, berkat stimulus fiskal di Jerman dan momentum ekonomi yang kuat di Spanyol. Sementara itu, Jepang mencatat kenaikan signifikan dalam proyeksi pertumbuhan menjadi 1,1% dari sebelumnya 0,7%, didorong oleh peningkatan upah dan konsumsi domestik, meskipun diperkirakan melambat menjadi 0,6% pada 2026. Untuk wilayah Amerika Latin dan Karibia, proyeksi pertumbuhan juga meningkat menjadi 2,4% (dari 2,2%), dengan Meksiko menunjukkan lonjakan substansial menjadi 1,0% berkat pemulihan sektor ekspornya.
Berbeda dengan sebagian besar wilayah, IMF tidak merevisi proyeksi pertumbuhan China, yang tetap pada 4,8% untuk 2025 dan 4,2% untuk 2026. Gourinchas mengemukakan bahwa pertumbuhan ekspor China saat ini dinilai “tidak berkelanjutan,” sementara sektor properti masih menunjukkan kerapuhan yang signifikan, empat tahun setelah pecahnya gelembung real estat. Dalam blog resminya, ia menulis, “Risiko stabilitas keuangan meningkat karena investasi properti terus menurun, permintaan kredit melemah, dan ekonomi berada di ambang jebakan deflasi utang,” menyoroti tantangan struktural yang dihadapi Beijing.
Mengenai inflasi global, IMF memperkirakan angka 4,2% untuk 2025 dan 3,7% untuk 2026, yang hampir tidak berubah dari laporan sebelumnya. Namun, terdapat divergensi signifikan antarwilayah. Di Amerika Serikat, inflasi diperkirakan akan mengalami kenaikan karena perusahaan mulai membebankan biaya tarif kepada konsumen. Sebaliknya, di China, India, dan Thailand, proyeksi inflasi justru diturunkan, mencerminkan kondisi perlambatan ekonomi di negara-negara tersebut.