Ifonti.com, JAKARTA — Adanya selisih data mencengangkan senilai Rp18 triliun terkait dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan memicu sorotan serius dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Purbaya secara tegas mendorong dilakukannya investigasi menyeluruh untuk mengungkap misteri di balik perbedaan angka tersebut.
Purbaya, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), melontarkan pertanyaan krusial: “Ke mana larinya uang Rp18 triliun itu?” Ia menyatakan keyakinannya bahwa data dari Bank Indonesia (BI) sudah akurat dan sesuai dengan informasi yang langsung tercatat dari masing-masing bank. “Kalau di pemda kurang Rp18 triliun mungkin pemerintahnya kurang teliti itu nulisnya. Kalau BI itu pasti sudah di sistem semuanya. Jadi itu mesti diinvestigasi itu ke mana yang selisih Rp18 triliun itu,” tegas Purbaya di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Polemik mengenai perbedaan data simpanan kas daerah ini pertama kali mencuat dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian awalnya memaparkan data BI yang menunjukkan total uang pemerintah daerah yang mengendap di rekening kas daerah mencapai Rp233 triliun. Secara terperinci, data BI menyebutkan simpanan pemerintah kabupaten (pemkab) mencapai Rp134,2 triliun, pemerintah provinsi (pemprov) Rp60,2 triliun, dan pemerintah kota (pemkot) Rp39,5 triliun.
Namun, Mendagri Tito Karnavian menyangsikan validitas data BI tersebut. Ia mencontohkan data simpanan pemkot Banjar Baru yang disebut mencapai Rp5,1 triliun, padahal pendapatan daerahnya tidak menyentuh angka tersebut. Keraguan ini mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pengecekan langsung ke setiap rekening kas pemda. Hasilnya, total simpanan kas pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota yang ditemukan hanya mencapai Rp215 triliun. Angka ini terdiri dari Rp64 triliun di provinsi, Rp119,9 triliun di kabupaten, dan Rp30,1 triliun di kota.
“Jadi ada sedikit discrepancy atau perbedaan antara data BI yang Rp233 triliun dengan data melalui rekening yang kami cek masing-masing totalnya Rp215 triliun. Jadi lebih kurang beda Rp18 triliun,” jelas Tito pada Senin (20/10/2025). Selisih data Rp18 triliun antara BI dan Mendagri inilah yang kini menjadi fokus perhatian.
Mendagri Tito juga menguraikan sejumlah faktor yang menyebabkan dana pemda menumpuk di bank. Alasan-alasan tersebut meliputi tuntutan efisiensi sesuai amanat Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025, penyesuaian visi dan misi program prioritas kepala daerah terpilih, kendala administratif, serta proses penyesuaian penggunaan e-Katalog versi terbaru. Selain itu, pengadaan belanja modal yang bersifat fisik, kecenderungan realisasi APBN yang tinggi di akhir tahun, keterlambatan kementerian/lembaga pengampu dana alokasi khusus (DAK), pengadaan tanah yang dilakukan bersamaan dengan pekerjaan fisik TA 2025, serta pembayaran utang iuran BPJS turut berkontribusi pada tingginya simpanan pemda di perbankan.
Mantan Kapolri itu juga menyoroti kasus konkret di mana beberapa daerah, meskipun memiliki pendapatan tinggi, lambat dalam membelanjakan anggarannya. Salah satu contoh yang disorot adalah Pemkab Bojonegoro, yang memiliki simpanan kas daerah hingga Rp3,8 triliun. “Jadi kecepatan para pencari uangnya, Kadispenda dan Kepala BKAD, itu kecepatannya tinggi, sementara yang dinasnya realisasinya lambat,” pungkas Tito, menekankan perlunya sinkronisasi antara pendapatan dan realisasi belanja daerah.
Ringkasan
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, mendorong investigasi terkait selisih data sebesar Rp18 triliun antara data Bank Indonesia (BI) dan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengenai dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan. Data BI menunjukkan angka Rp233 triliun, sementara Kemendagri menemukan Rp215 triliun melalui pengecekan langsung rekening kas pemda.
Mendagri Tito Karnavian menjelaskan beberapa faktor penyebab dana pemda menumpuk, seperti tuntutan efisiensi, penyesuaian program prioritas kepala daerah, kendala administratif, dan proses penyesuaian penggunaan e-Katalog. Ia juga menyoroti beberapa daerah dengan pendapatan tinggi namun realisasi anggaran lambat, menunjukan perlunya sinkronisasi antara pendapatan dan belanja daerah.