JAKARTA. Bank Indonesia (BI) secara tegas menyoroti lambatnya transmisi penurunan suku bunga dari kebijakan moneternya ke sektor riil. Kondisi ini mendorong BI untuk meminta perbankan nasional segera mempercepat penurunan suku bunga agar selaras dengan langkah pelonggaran kebijakan moneter yang telah ditempuh.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengungkapkan kekecewaannya atas disparitas transmisi tersebut. Menurutnya, hingga September 2025, pergerakan suku bunga perbankan jauh tertinggal dari penurunan suku bunga acuan BI Rate yang telah dipangkas sebesar 150 basis poin (bps) sejak awal tahun. Sebagai contoh, suku bunga deposito satu bulan hanya turun tipis 29 bps, dari 4,81% di awal 2025 menjadi 4,52% pada September 2025, padahal BI Rate telah banyak melonggar.
Keterlambatan penurunan suku bunga deposito ini, menurut catatan BI, sebagian besar disebabkan oleh praktik pemberian special rate atau suku bunga khusus bagi deposan besar, yang kini mendominasi 26% dari total dana pihak ketiga (DPK). Yang lebih mengkhawatirkan, transmisi ke suku bunga kredit perbankan bahkan lebih minim lagi. Tercatat, hanya ada penurunan 15 bps, dari 9,20% di awal 2025 menjadi 9,05% pada September 2025. Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter belum sepenuhnya mendorong pertumbuhan kredit di sektor riil, yang berpotensi menghambat roda perekonomian.
Dalam upaya mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mendorong gairah ekonomi, Bank Indonesia terus mengintensifkan implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Hingga minggu pertama Oktober 2025, total insentif KLM yang telah digelontorkan mencapai angka fantastis Rp 393 triliun, didistribusikan secara strategis ke berbagai kelompok perbankan.
Alokasi insentif KLM ini tersebar merata, dengan bank BUMN menerima Rp 173,6 triliun, sementara bank umum swasta nasional (BUSN) mendapatkan bagian yang sedikit lebih besar, Rp 174,4 triliun. Tak ketinggalan, bank pembangunan daerah (BPD) memperoleh Rp 39,1 triliun, dan kantor cabang bank asing (KCBA) sebesar Rp 5,7 triliun. Lebih lanjut, insentif KLM diprioritaskan untuk mendukung sektor-sektor kunci yang vital bagi perekonomian, meliputi pertanian, perdagangan, manufaktur, real estate, perumahan rakyat, konstruksi, transportasi, pergudangan, pariwisata, ekonomi kreatif, serta segmen UMKM, ultra mikro, dan sektor hijau.
Menatap ke depan, BI bertekad untuk terus menyempurnakan kebijakan KLM agar lebih berorientasi ke masa depan (forward looking), dengan tujuan utama mendorong peningkatan pertumbuhan kredit dan pembiayaan perbankan. Gubernur Perry Warjiyo secara khusus menekankan bahwa mekanisme pemberian insentif KLM ke depannya akan memiliki syarat yang lebih ketat: dikaitkan langsung dengan seberapa cepat bank merespons dengan menurunkan suku bunga kredit atau pembiayaan. Langkah ini merupakan strategi konkret BI untuk memaksa percepatan transmisi kebijakan suku bunga ke sektor riil.
Dengan transmisi kebijakan moneter yang lebih gesit dan efektif, Bank Indonesia berharap dapat secara signifikan menurunkan biaya dana bagi pelaku usaha serta mendorong ketersediaan pembiayaan produktif yang berkelanjutan, menciptakan dampak positif yang nyata bagi perekonomian nasional.