JAKARTA — Pembukaan perdagangan hari Selasa, 4 November 2025, menjadi momen pelemahan bagi nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda tercatat melemah 39 poin atau 0,215 persen, bergerak ke level Rp16.715 per dolar Amerika Serikat (AS). Angka ini menunjukkan tekanan signifikan, berbanding dengan posisi sebelumnya di Rp16.676 per dolar AS.
Pelemahan kurs rupiah ini tak lepas dari dinamika kebijakan moneter global, khususnya keputusan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Oktober 2025. Dalam rapat krusial tersebut, The Fed memutuskan untuk memangkas Fed Funds Rate (FFR) sebesar 25 basis poin (bps), menurunkannya ke kisaran target 3,75–4 persen dari sebelumnya 4–4,25 persen. Meskipun ada pemotongan, respons pasar mengindikasikan adanya keraguan terkait langkah The Fed ke depan.
Keputusan pemangkasan suku bunga AS tersebut rupanya tidak bulat, menimbulkan dua pandangan berbeda atau dissenting opinion. Gubernur Stephen Miran menyuarakan dukungan untuk pemotongan yang lebih agresif, yakni sebesar 50 bps, sejalan dengan sikapnya di FOMC sebelumnya. Sebaliknya, Presiden The Fed Kansas City, Jeff Schmid, memilih untuk mempertahankan suku bunga pada level yang tidak berubah, mencerminkan adanya perbedaan strategi di tubuh bank sentral AS.
Menanggapi kondisi ini, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menjelaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah memang sangat dipengaruhi oleh penurunan ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga Amerika Serikat (AS) selanjutnya. Menurutnya, optimisme pasar akan adanya pemotongan suku bunga The Fed lanjutan telah terkikis secara signifikan.
Ariston membeberkan data penting bahwa ekspektasi pemangkasan suku bunga AS selanjutnya telah merosot drastis. Dari kisaran 94 persen, kini harapan tersebut berada di kisaran 65 persen sejak pengumuman kebijakan moneter The Fed terakhir. Keraguan pasar ini sontak mendorong penguatan dolar AS, yang terlihat dari indeks dolar AS yang pada pagi hari ini menyentuh level 100, sebuah peringkat yang belum pernah dicapai lagi sejak 1 Agustus 2025.
Di sisi lain, Ariston juga menyoroti peran kebijakan fiskal dan moneter Indonesia yang cenderung longgar. Kebijakan ini, menurutnya, turut memberikan tekanan tambahan terhadap kurs rupiah. Ini terjadi meskipun data neraca perdagangan Indonesia masih menunjukkan surplus yang sehat, sebuah faktor yang biasanya dapat mendukung stabilitas mata uang domestik.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, baik dari sentimen pasar global terhadap kebijakan The Fed maupun kondisi domestik, kurs rupiah diperkirakan akan bergerak dalam rentang Rp16.600 hingga Rp16.680 per dolar AS. Fluktuasi ini menggarisbawahi pentingnya memantau perkembangan ekonomi global dan domestik secara cermat.