Bursa Asia Anjlok, Kospi Korsel Rontok Lebih 6% Akibat Kekhawatiran Valuasi Pasar

Ifonti.com, JAKARTA – Pasar saham Asia anjlok tajam pada perdagangan Rabu (5/11/2024), menyusul meningkatnya kekhawatiran bahwa euforia investasi pada saham-saham berbasis kecerdasan buatan (AI) telah mendorong valuasi ke level yang terlalu tinggi dan tidak berkelanjutan. Koreksi ini menjadi penanda adanya sentimen negatif di kalangan investor.

Guncangan paling terasa terjadi di Korea Selatan, di mana Indeks Kospi merosot drastis hingga 6,2%. Penurunan ini merupakan yang terdalam dalam sehari sejak Agustus 2024, menunjukkan volatilitas pasar yang signifikan. Tak hanya itu, indeks saham emerging market Asia juga tak luput dari tekanan, terkoreksi 2,6% – kinerja terburuk yang tercatat sejak April.

Gelombang tekanan jual ini bermula setelah para eksekutif senior dari raksasa keuangan global, Morgan Stanley dan Goldman Sachs, secara terbuka menyatakan keraguan mereka terhadap keberlanjutan valuasi yang melonjak tinggi pada saham-saham teknologi global. Pernyataan ini sontak memicu reaksi berantai di seluruh bursa regional.

Sentimen negatif yang disuarakan oleh para bankir investasi tersebut segera diikuti dengan aksi ambil untung besar-besaran oleh investor. Kondisi ini semakin memperparah suasana di pasar yang memang sudah rapuh, terutama setelah terjadi koreksi tajam di pasar kripto yang turut menekan optimisme.

Jon Withaar, Senior Portfolio Manager di Pictet Asset Management, Singapura, menjelaskan akar masalahnya. “Investor ritel dan hedge fund sangat terekspos pada posisi beli di saham teknologi secara global,” ujarnya. Ia menambahkan, “Komentar negatif terkait valuasi ditambah koreksi tajam di aset digital memicu kepanikan di pasar,” menggarisbawahi bagaimana faktor-faktor ini menciptakan badai sempurna bagi gejolak pasar.

Reaksi pasar terhadap kondisi ini sangat cepat dan brutal, terutama pada Indeks KOSPI yang sebelumnya sempat meroket 20% sejak awal Oktober. Kini, indeks tersebut berbalik arah secara tajam. Dua raksasa industri semikonduktor Korea Selatan, Samsung Electronics dan SK Hynix, terpukul paling parah, dengan saham mereka masing-masing merosot antara 8% hingga 9%. Khusus Samsung, ini adalah kinerja harian terburuknya dalam 15 bulan terakhir, menggambarkan keparahan situasi. Bersamaan dengan itu, nilai tukar mata uang Won Korea Selatan ikut melemah 0,6%, mencapai titik terendah sejak pertengahan April.

Gelombang koreksi juga melanda Taiwan. Indeks acuan Taiwan terkoreksi 2,6%, menjadikannya penurunan terburuk dalam tiga pekan terakhir. Ini terjadi setelah sebelumnya pasar Taiwan mengalami reli impresif lebih dari 10% sepanjang Oktober, didorong oleh euforia serupa terhadap saham AI. Dampak pelemahan tidak hanya terbatas pada ekuitas; Dolar Taiwan pun terus melemah selama enam sesi berturut-turut, menyentuh level terendah yang belum terlihat sejak awal Mei.

Tekanan jual turut merambat ke kawasan Asia Tenggara, meskipun dengan intensitas yang sedikit berbeda. Di Singapura, Indeks FTSE Straits Times terpangkas 1%, sebagian besar terseret oleh pelemahan saham-saham perbankan raksasa seperti DBS Group, OCBC, dan United Overseas Bank, yang masing-masing terkoreksi antara 0,5% hingga 1,6%. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia dan KLCI Malaysia masing-masing mengalami pelemahan sekitar 0,5%. Adapun indeks acuan Filipina mencatatkan penurunan paling dalam di kawasan ini, yakni 1%.

Dampak gejolak pasar saham juga merembet ke sektor lain. Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun Indonesia sedikit menurun menjadi 6,153%. Dari sisi makroekonomi, inflasi tahunan Filipina untuk bulan Oktober tercatat sebesar 1,7%. Sementara itu, sebuah jajak pendapat Reuters memproyeksikan bahwa bank sentral Malaysia kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuannya di level 2,75% setidaknya hingga tahun 2026, menunjukkan ekspektasi stabilitas moneter di sana di tengah ketidakpastian regional.

Secara keseluruhan, gejolak yang melanda pasar saham Asia ini menjadi indikator jelas meningkatnya sensitivitas investor terhadap isu valuasi, terutama setelah periode reli panjang yang didorong oleh ekspektasi pertumbuhan fantastis di sektor teknologi. Ini menandai pergeseran fokus investor dari momentum pertumbuhan ke fundamental valuasi yang lebih konservatif.

Koreksi dan tekanan jual ini bukan sekadar fluktuasi sesaat, melainkan mengisyaratkan dimulainya fase konsolidasi baru di pasar. Pelaku pasar kini cenderung lebih berhati-hati, mencermati potensi koreksi lebih dalam di tengah bayangan ketidakpastian arah suku bunga global yang terus membayangi. Ke depan, fokus akan beralih pada evaluasi fundamental dan potensi keuntungan yang lebih realistis.