Kinerja Surya Semesta (SSIA) Masih Lesu, Ini Rekomendasi Analis

Ifonti.com – JAKARTA. Kinerja keuangan PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) masih menunjukkan tren perlambatan di sembilan bulan pertama tahun 2025, memicu pandangan bahwa valuasi sahamnya saat ini belum mencerminkan kondisi fundamental yang sebenarnya.

Pada kuartal III 2025, pendapatan SSIA terkoreksi signifikan sebesar 14,15% secara tahunan (YoY), mencatatkan angka Rp 3,31 triliun. Kontributor utama pendapatan perusahaan berasal dari segmen konstruksi bangunan, yang menyumbang Rp 2,64 triliun. Sementara itu, segmen hotel berkontribusi Rp 351,86 miliar, disusul pembangunan kawasan industri sebesar Rp 285,73 miliar, dan real estat Rp 261,23 miliar.

Penurunan juga terlihat pada laba kotor, yang merosot 37,42% YoY menjadi Rp 735,1 miliar pada periode yang sama. Anjloknya laba kotor ini utamanya disebabkan oleh kinerja segmen perhotelan yang turun drastis 66,6% YoY dan segmen properti yang melemah 31,5% YoY. Meskipun demikian, segmen konstruksi berhasil menunjukkan peningkatan laba kotor sebesar 17,9% YoY, sedikit menopang kinerja keseluruhan.

Menurut Erlin Budiman, VP of Investor Relations & Corporate Communications SSIA, penurunan kinerja segmen hotel adalah konsekuensi dari renovasi besar-besaran yang tengah dilakukan di Paradisus by Meliá Bali, yang sebelumnya dikenal sebagai Meliá Bali Hotel. “Investasi strategis ini kami lakukan untuk meningkatkan nilai jangka panjang dan memberikan pengalaman baru yang lebih baik bagi para tamu di masa mendatang,” jelas Erlin dalam keterbukaan informasi pada Senin (3/11).

Lebih lanjut, laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk SSIA juga mengalami kemerosotan tajam, mencapai Rp 6,46 miliar atau turun 97,17% YoY. Di samping itu, SSIA mencatatkan pendapatan prapenjualan atau marketing sales seluas 18 hektar, berasal dari inventaris lahan Suryacipta Karawang dan Subang Smartpolitan, dengan nilai setara Rp 352,6 miliar. Namun, raihan ini turun drastis 87,3% YoY dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 141,8 hektar dengan nilai Rp 1,74 triliun per September 2024. Penurunan ini, menurut Erlin, “terutama disebabkan oleh penjualan lahan dalam jumlah besar kepada BYD di Subang Smartpolitan pada tahun lalu, yang bersifat satu kali (one-off).”

Investment Analyst Edvisor Provina Visindo, Indy Naila, berpandangan bahwa penurunan volume dari segmen properti dan hospitality telah menekan margin SSIA pada periode ini. Selain itu, realized gain dari proyek Subang Smartpolitan serta realisasi marketing sales yang belum sesuai ekspektasi turut menekan pendapatan. Indy juga menambahkan, “Ini semua diiringi dengan beban operasional ataupun keuangan yang belum menopang dari sisi laba bersih,” ujarnya kepada Kontan pada Kamis (6/11/2025).

Meskipun aktivitas renovasi hotel berdampak pada kinerja perseroan sepanjang tahun 2025, SSIA tetap optimistis terhadap prospek industri perhotelan Indonesia. Erlin Budiman menyatakan bahwa segmen perhotelan Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan di kuartal III 2025. “Optimisme ini didukung oleh kebijakan pengeluaran pemerintah yang lebih akomodatif, pergeseran arus wisata regional dari Thailand, dan peningkatan indeks kepercayaan konsumen,” papar Erlin.

Analis Trimegah Sekuritas Indonesia, Alberto Jonas Kusuma dan Kharel Devin Fielim, juga memperkirakan segmen hotel SSIA akan mulai pulih pada tahun 2026, setelah renovasi Melia Bali rampung. “Dengan perkiraan akan dibuka kembali pada Desember 2025, hal ini akan membantu memulihkan permintaan di masa mendatang, mendorong tingkat hunian yang lebih tinggi, serta memulihkan momentum margin di seluruh segmen hotel,” jelas mereka dalam riset Oktober 2025 lalu.

Lebih lanjut, pabrik BYD diperkirakan akan menjadi fasilitas terbesar di Subang Smartpolitan dengan total luas lebih dari 200 hektar (ha), melanjutkan akuisisi lahan seluas 108 ha yang telah dilakukan BYD pada tahun 2024. “Kami memperkirakan akuisisi dan serah terima lahan ini akan selesai di akhir tahun 2025, yang akan memberikan kontribusi besar terhadap target penjualan lahan di akhir tahun nanti sebesar 110 ha, dengan 100 ha berasal dari Subang dan 10 ha dari Karawang,” kata Alberto. Ia juga memproyeksikan pendapatan SSIA untuk tahun 2025-2027 kemungkinan akan mencapai Rp 5,7 triliun – Rp 6,5 triliun jika normalisasi penjualan lahan terealisasi di masa mendatang.

Alberto menambahkan, SSIA juga memiliki sentimen positif dari cadangan lahan yang luas, mencapai 2.700 ha di Subang, pengembangan Pelabuhan Patimban yang strategis, serta potensi recurring income dari monetisasi utilitas yang digunakan oleh para tenan di kawasan industri. Namun, Indy Naila melihat pertumbuhan SSIA hingga tahun 2026 masih akan berjalan pada laju yang moderat, mengingat perlunya realisasi yang kuat dari penjualan lahan industri dan marketing sales. Sentimen positif dapat muncul dari proses negosiasi SSIA dengan perusahaan alat berat Jepang dan otomotif China, yang berpotensi menjadi sumber pendapatan yang lebih stabil.

Kendati demikian, segmen hospitality atau properti SSIA masih sangat bergantung pada kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih. “Investasi grup konglomerasi bisa menjadi katalis positif dan mendorong margin, tetapi harus diiringi dengan marketing sales yang tinggi dan arus kas yang terus dipantau,” tutur Indy. Dalam perkembangan sebelumnya, Grup Djarum dan Grup Barito telah melakukan sejumlah langkah investasi, terutama dalam bentuk pembelian saham SSIA. Peluang investasi langsung di aset fisik SSIA juga terbuka lebar. Hal ini menyusul pengakuan SSIA yang telah bertemu dengan PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan tengah dalam tahap pembicaraan terkait investasi secara langsung di kawasan industri. Emiten Grup Barito tersebut diakui telah menyatakan ketertarikan untuk berinvestasi di bidang infrastruktur dan utilitas milik SSIA, meski belum ada hasil konkret dari pembicaraan tersebut hingga hari ini.

Mengingat pertumbuhan kinerja yang masih lesu, valuasi saham SSIA saat ini dinilai Indy masih tidak wajar, dengan Price to Earning Ratio (PER) berada di level 848,56x dan Price to Book Value (PBV) di 1,28x. Oleh karena itu, Indy merekomendasikan posisi wait and see untuk SSIA dengan target harga Rp 1.750 per saham. Sementara itu, Alberto dari Trimegah Sekuritas Indonesia justru merekomendasikan ‘Beli’ untuk SSIA, dengan target harga yang lebih tinggi, yakni Rp 3.600 per saham.