IPO Perbankan Berpotensi Dongkrak Indeks Sektor Keuangan

Ifonti.com JAKARTA. Pergerakan saham-saham sektor keuangan di pasar modal saat ini cenderung menghadapi tekanan yang signifikan. Kelesuan ini turut memengaruhi saham-saham bank, yang pada gilirannya menyebabkan indeks sektor keuangan, IDXFinance, menjadi yang paling lambat pergerakannya dibandingkan sektor lainnya.

Namun, di tengah kelesuan tersebut, secercah harapan muncul dari Bursa Efek Indonesia (BEI). BEI mencatat adanya empat perusahaan keuangan yang masuk dalam daftar tunggu Initial Public Offering (IPO) mereka. Dominasi sektor keuangan terlihat jelas, dengan menyumbang 30,8% dari total 13 perusahaan yang antre untuk melantai di bursa.

Kendati identitas keempat perusahaan dari sektor keuangan ini belum dirinci secara resmi, beberapa nama besar telah santer terdengar di kalangan pelaku pasar dan investor, terutama dari segmen perbankan.

Salah satu nama yang paling santer disebut-sebut bakal menggelar IPO adalah PT Super Bank Indonesia, atau yang dikenal sebagai Superbank, diperkirakan akan melantai pada akhir tahun ini. Namun, pihak manajemen Superbank memilih untuk tidak memberikan komentar terkait rumor tersebut.

Selain Superbank, PT Bank DKI, atau Bank Jakarta, juga telah menyatakan niatnya untuk melantai di pasar saham pada tahun ini. Rencana ambisius ini bahkan telah disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS) Bank DKI yang dilaksanakan pada akhir April 2025.

Secara fundamental, Superbank menunjukkan perkembangan yang cukup menarik dengan kinerja keuangan yang mulai membaik. Per September 2025, laba bersih Superbank tercatat sebesar Rp 60,2 miliar, sebuah pembalikan signifikan dari kerugian Rp 285 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan bank digital lain, laba Superbank masih terbilang kecil. Sebagai contoh, PT Bank Jago Tbk (ARTO) mencatatkan laba sebesar Rp 199 miliar pada periode yang sama, dengan pertumbuhan sekitar 131% secara tahunan (YoY).

Sementara itu, Bank Jakarta juga tidak kalah tangguh dalam mencetak keuntungan. Per September 2025, bank daerah ini berhasil membukukan laba bersih senilai Rp 520,8 miliar, meningkat dari Rp 513,23 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Muhammad Wafi, Head of Research KISI Sekuritas, berpendapat bahwa IPO perusahaan keuangan yang sukses dapat memberikan sentimen positif secara psikologis bagi emiten sektor keuangan lainnya. Ini akan menandakan adanya permintaan yang kuat terhadap saham sektor keuangan.

“Apabila pasar melihat permintaan yang tinggi untuk saham sektor keuangan, investor kemungkinan akan meninjau ulang valuasi perbankan lain. Namun, jika harga penawaran terlalu mahal, justru bisa membuat sektor ini semakin terbebani,” ujarnya.

Wafi menambahkan, Superbank memang menjadi salah satu perusahaan yang sangat dinantikan. Hal ini didorong oleh narasi kuat yang ditawarkan melalui perusahaan induknya, yaitu Grup Emtek, yang dikenal memiliki ekosistem bisnis yang solid.

Meski demikian, ia menekankan pentingnya mencermati valuasi harga yang akan ditawarkan saat bank digital ini menggelar IPO. Wafi melihat bahwa jika harga yang dipatok terlalu mahal, bukan tidak mungkin investor akan membatalkan niatnya untuk masuk.

Senada dengan pandangan positif, Ekky Topan, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, melihat momentum IPO bagi perusahaan sektor keuangan saat ini justru sangat menjanjikan. Alasannya, sektor keuangan, khususnya perbankan, sedang memasuki fase pemulihan yang cukup kuat.

Lebih lanjut, Ekky menyoroti derasnya aliran dana asing ke saham keuangan besar dalam sebulan terakhir. Menurutnya, ini menandakan bahwa investor global mulai melihat valuasi sektor finansial Indonesia sebagai salah satu yang paling menarik di kawasan Asia.

“Dengan valuasi perbankan yang saat ini berada di bawah rata-rata historis, ruang kenaikan harga saham bank sebenarnya cukup terbuka begitu laporan keuangan menunjukkan tanda-tanda pemulihan kredit yang lebih kuat,” jelasnya.

Di sisi lain, Miftahul Khaer, Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, memberikan perspektif yang lebih hati-hati. Secara umum, ia menilai sektor keuangan masih menghadapi tekanan dibandingkan sektor lainnya. Faktor-faktor seperti pengetatan likuiditas, moderasi pertumbuhan kredit, dan tekanan margin bunga masih menjadi penentu utama.

Oleh karenanya, Miftahul berpandangan bahwa momentum IPO bagi perusahaan sektor keuangan, khususnya perbankan digital dan multifinance, mungkin bukan waktu yang paling ideal saat ini. Namun, ia menekankan pentingnya melihat tujuan dari IPO itu sendiri.

“Jika IPO dilakukan karena kebutuhan ekspansi modal dan strategi jangka panjang, maka momentum pasar menjadi kurang relevan,” ujarnya.

Miftahul juga menyoroti daya tarik khusus dari kedua bank tersebut jika jadi melantai di bursa. Superbank memiliki narasi kuat sebagai bagian dari ekosistem teknologi dan digital finance yang terintegrasi dengan Grup Emtek. Sementara itu, Bank Jakarta menawarkan daya tarik regional yang besar, didukung oleh rencana transformasi digitalnya.

“Dengan demikian, meskipun kondisi pasar tetap selektif, saham-saham sektor keuangan, khususnya perbankan yang gencar melakukan digitalisasi dan efisiensi, dinilai masih prospektif menjelang tahun 2026, didukung oleh potensi pelonggaran suku bunga dan pemulihan konsumsi kredit,” tandasnya.