Reksadana Dominasi Pasar: Peluang Investasi Pendapatan Tetap & Pasar Uang


Industri reksadana nasional menunjukkan performa yang sangat impresif hingga Oktober 2025. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan positif ini secara signifikan didorong oleh kinerja cemerlang reksadana pendapatan tetap dan reksadana pasar uang, yang kini menjadi penopang utama kenaikan keseluruhan aset.

Dua jenis reksadana ini berhasil mencatatkan arus masuk dana yang substantial, sejalan dengan tren penurunan suku bunga acuan dan meningkatnya preferensi investor terhadap instrumen investasi berisiko rendah. Alhasil, total dana kelolaan reksadana di Indonesia berhasil menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa, mencapai angka fantastis Rp 621,67 triliun per akhir Oktober 2025.

Angka ini merepresentasikan peningkatan sebesar 6,96% dibandingkan posisi September 2025 yang tercatat Rp 581,17 triliun. Lebih jauh lagi, secara year to date (ytd), pertumbuhan dana kelolaan reksadana telah mencapai 23,61% dari posisi akhir Desember 2024 yang senilai Rp 502,92 triliun. Dari total dana kelolaan yang masif tersebut, reksadana pendapatan tetap masih memegang dominasi kuat dengan nilai Rp 223,90 triliun, menyumbang porsi 36,02%. Sementara itu, reksadana pasar uang menyusul dengan Rp 122,16 triliun, mengkontribusi 19,65% dari total. Di sisi lain, reksadana saham menunjukkan stabilitas, dan reksadana campuran mengalami pertumbuhan yang moderat.

Wawan Hendrayana, Vice President Infovesta Utama, menjelaskan mengapa reksadana pendapatan tetap dan pasar uang kini semakin diminati oleh para investor. Menurutnya, dalam lima tahun terakhir, kinerja return reksadana saham cenderung kalah dibandingkan deposito. Sebaliknya, reksadana pendapatan tetap dan pasar uang menampilkan kinerja yang konsisten dan setara, bahkan menawarkan return yang umumnya lebih tinggi dari deposito, menjadikannya pilihan yang sangat menarik bagi investor reksadana. Wawan menambahkan, khususnya bagi investor ritel yang bertransaksi secara daring melalui APERD, baik bank maupun fintech, dua jenis reksadana ini berpotensi memberikan hasil terbaik dalam jangka panjang.

Senada dengan pandangan tersebut, Reza Fahmi Riawan, Senior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Henan Putihrai Asset Management (HPAM), mengamati adanya pergeseran minat investor menuju instrumen yang menawarkan kombinasi stabilitas dan visibilitas imbal hasil. Dorongan tren penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sejak awal tahun 2025 telah mengembalikan daya tarik pasar obligasi. Ini membuat reksadana pendapatan tetap sangat menarik dengan potensi capital gain yang optimal. Di samping itu, reksadana pasar uang terus menjadi pilihan utama untuk kebutuhan likuiditas, terutama bagi investor yang cermat menunggu momentum ideal untuk beralih ke aset berisiko lebih tinggi. Reza menegaskan, di tengah lanskap ekonomi global yang masih rentan, kedua jenis reksadana ini berfungsi sebagai tempat parkir dana yang efisien, likuid, dan relatif defensif.

Menariknya, di samping reksadana pendapatan tetap dan pasar uang yang sedang bertumbuh pesat, Infovesta juga menyoroti popularitas reksadana berbasis syariah. Reza Fahmi Riawan mengungkapkan bahwa pertumbuhan reksadana syariah didukung oleh dua faktor utama: preferensi investor terhadap instrumen yang lebih konservatif, serta perkembangan industri keuangan syariah yang semakin matang di Indonesia. Selain itu, instrumen berbasis sukuk dan pasar uang syariah menawarkan volatilitas yang rendah, menjadikannya sangat relevan dengan kondisi pasar saat ini.

Wawan Hendrayana menambahkan bahwa sentimen positif terhadap pertumbuhan reksadana syariah ini juga disebabkan oleh dua hal. Pertama, pasar syariah masih berada pada posisi “low base” dengan produk dan investor yang tersegmen, sehingga reksadana syariah dengan kinerja baik akan terlihat sangat menarik, bahkan bagi investor konvensional. Kedua, minat investasi syariah memang sedang mengalami peningkatan, sebuah tren yang juga tercermin dari kinerja pertumbuhan perbankan syariah nasional.

Di luar dominasi reksadana pendapatan tetap dan pasar uang, Wawan mengisyaratkan bahwa jenis reksadana lain juga memiliki potensi besar untuk dilirik, terutama bagi investor yang mencari alternatif investasi yang lebih menarik. Misalnya, reksadana campuran dan reksadana saham. Reza Fahmi Riawan juga sependapat, melihat peluang kuat pada reksadana campuran dan saham. Reksadana campuran bisa menjadi opsi menarik bagi investor yang menginginkan potensi pertumbuhan namun tetap ingin menjaga volatilitas portofolio. Sementara itu, reksadana saham berpeluang menarik minat investor saat siklus penurunan suku bunga semakin dalam, karena prospeknya sangat berkorelasi dengan pemulihan ekonomi dan profitabilitas emiten domestik.

Melihat prospek reksadana ke depan, Wawan menyampaikan bahwa kinerja akan sangat bergantung pada tren suku bunga acuan. Saat ini, reksadana, khususnya jenis pendapatan tetap, sangat diuntungkan oleh tren pemangkasan suku bunga acuan yang terus berlangsung sejak awal tahun 2025. Namun, untuk tahun 2026, potensi pemangkasan suku bunga acuan diprediksi akan terbatas, dan suku bunga deposito kemungkinan akan menurun. Kondisi ini bisa menyebabkan kinerja reksadana tidak sekinclong tahun 2025. Wawan memproyeksikan, reksadana pendapatan tetap mungkin akan membukukan kinerja sekitar 5%-6%, dan pasar uang 3%-4% di tahun 2026, yang meskipun masih lebih tinggi dari deposito, namun di bawah performa tahun 2025.

Berbeda dengan proyeksi Wawan, Reza Fahmi Riawan memandang prospek reksadana pada tahun 2026 secara lebih konstruktif. Potensi penurunan suku bunga acuan secara bertahap hingga tahun 2026 akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi reksadana pendapatan tetap dan saham. Reksadana pasar uang akan tetap relevan sebagai instrumen likuiditas, khususnya bagi investor yang mengadopsi strategi masuk bertahap (phased entry) ke aset yang lebih agresif. Dengan ekonomi domestik yang relatif solid, sektor-sektor seperti konsumen, telekomunikasi, dan energi berpotensi menjadi motor utama bagi kinerja reksadana berbasis saham. Reza menekankan pentingnya bagi investor untuk mencermati arah kebijakan suku bunga, inflasi, serta dinamika likuiditas global. Pergerakan pasar obligasi akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral, sementara kinerja pasar saham akan sangat bergantung pada daya beli domestik, harga komoditas, dan arus dana asing.

Ringkasan

Industri reksadana di Indonesia menunjukkan pertumbuhan positif hingga Oktober 2025, didorong oleh kinerja reksadana pendapatan tetap dan pasar uang. Total dana kelolaan mencapai rekor tertinggi, Rp 621,67 triliun, meningkat signifikan dibandingkan bulan dan tahun sebelumnya. Reksadana pendapatan tetap mendominasi dengan Rp 223,90 triliun, diikuti reksadana pasar uang dengan Rp 122,16 triliun.

Investor semakin tertarik pada reksadana pendapatan tetap dan pasar uang karena kinerjanya yang konsisten dan return yang lebih tinggi dari deposito. Penurunan suku bunga acuan juga mendorong minat pada obligasi, menjadikan reksadana pendapatan tetap menarik. Selain itu, reksadana syariah juga mengalami pertumbuhan karena preferensi investor terhadap instrumen konservatif dan perkembangan keuangan syariah.