Rupiah Terkapar! Proyeksi Ekonomi BI Bikin Investor Panik?

Ifonti.com – JAKARTA – Rupiah kembali tertekan. Pada penutupan perdagangan Senin (17/11/2025), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 29 poin, menyentuh level Rp 16.736 per dolar AS. Sentimen yang membebani rupiah kali ini datang dari proyeksi Bank Indonesia (BI) terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2026.

Ibrahim Assuaibi, seorang pengamat mata uang dan komoditas, menjelaskan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional oleh BI pada tahun 2026 berada di angka 5,33%. Angka ini lebih rendah dari target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 5,4%. “BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2026 mencapai 5,33 persen. Angka ini lebih rendah dari yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 5,4 persen,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (17/11/2025).

Proyeksi BI ini mempertimbangkan kebijakan moneter yang akan ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun lebih rendah dari target pemerintah dalam APBN 2026, BI tetap optimis bahwa target 5,4% masih dapat dicapai. Kuncinya terletak pada seberapa cepat dan efektif realisasi belanja pemerintah.

“BI optimistis ke depan pengeluaran fiskal dapat direalisasi lebih cepat dari tahun ini, sehingga peluang pertumbuhan ekonomi 2026 mencapai 5,4 persen sebagaimana target APBN 2026 dapat terwujud,” jelas Ibrahim lebih lanjut.

Di sisi lain, BI memproyeksikan inflasi pada tahun 2026 akan berada di level 2,62%. Angka ini masih berada dalam kisaran sasaran inflasi BI, yaitu 2,5% plus minus 1%. Namun, perlu dicatat bahwa angka ini sedikit di atas asumsi dasar APBN 2026 yang sebesar 2,5%.

Optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi juga datang dari Menteri Keuangan, Purbaya Yudh Sadewa. Beliau yakin target pertumbuhan ekonomi 2026 dapat mencapai 6% secara tahunan (yoy). Keyakinan ini didasari oleh fondasi perekonomian Indonesia yang diyakini akan semakin membaik, dimulai dengan pertumbuhan kuartal IV 2025 yang diprediksi lebih dari 5,5% (yoy).

Landasan pertumbuhan ekonomi yang optimis ini didukung oleh berbagai indikator terkini yang menunjukkan pemulihan. Sebagai contoh, indeks penjualan ritel pada September 2025 tumbuh 3,7%, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 4,3% pada Oktober 2025. Selain itu, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada Oktober 2025 berada di level ekspansif, yaitu 51,2, naik dari 50,4 pada bulan sebelumnya.

Namun, tekanan terhadap rupiah tidak hanya datang dari faktor internal. Ibrahim juga menyoroti beberapa faktor eksternal yang turut memengaruhi pelemahan rupiah, termasuk ekspektasi kebijakan suku bunga The Federal Reserve dan tensi geopolitik di Timur Tengah yang masih berlanjut.

“Investor semakin yakin bahwa Federal Reserve kemungkinan besar tidak akan melonggarkan kebijakan dalam waktu dekat, sebuah pergeseran yang disampaikan oleh beberapa pembuat kebijakan The Fed yang menekankan bahwa inflasi masih tetap tinggi dan kondisi pasar tenaga kerja belum melemah secara signifikan,” jelas Ibrahim.

Ketidakpastian global semakin diperparah oleh penundaan rilis data ekonomi AS akibat penutupan pemerintah. Hal ini membuat investor kehilangan indikator makro utama selama beberapa minggu. Penutupan pemerintah tersebut menunda rilis laporan penggajian non-pertanian bulan September, yang seharusnya dirilis pada Kamis mendatang.

“Hari ini para pedagang akan mengambil lebih banyak isyarat dari pidato beberapa pejabat The Fed. John Williams, Philip Jefferson, Neel Kashkari, dan Christopher Waller dijadwalkan akan berpidato hari ini,” tambahnya.

Selain itu, tensi geopolitik juga memberikan dampak terhadap nilai tukar rupiah. Serangan besar-besaran Ukraina terhadap Novorossiysk dan terminal Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) sempat mengganggu pasokan energi global. Meskipun laporan terbaru menunjukkan dimulainya kembali pemuatan minyak mentah, pasar tetap waspada terhadap potensi gangguan jangka panjang.

Serangan Ukraina terhadap kilang-kilang minyak di Rusia juga menimbulkan kekhawatiran baru. “Militer Ukraina mengatakan telah menyerang kilang Ryazan Rusia pada Sabtu dan kilang Novokuibyshevsk di wilayah Samara pada Ahad, menimbulkan kekhawatiran baru atas gangguan jangka panjang,” ungkap Ibrahim.

Mempertimbangkan berbagai sentimen, baik internal maupun eksternal, Ibrahim memprediksi bahwa mata uang Garuda akan melanjutkan pelemahan pada perdagangan selanjutnya, Selasa (18/11/2025).

“Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.730—Rp 16.770 per dolar AS,” pungkasnya.

Ringkasan

Rupiah kembali melemah terhadap dolar AS, menyentuh level Rp 16.736 per dolar AS pada penutupan perdagangan. Pelemahan ini dipicu oleh proyeksi Bank Indonesia (BI) terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2026 yang sebesar 5,33%, lebih rendah dari target pemerintah 5,4%. Meskipun demikian, BI optimis target 5,4% masih bisa dicapai dengan realisasi belanja pemerintah yang efektif.

Selain faktor internal, sentimen eksternal seperti ekspektasi kebijakan suku bunga The Federal Reserve dan tensi geopolitik di Timur Tengah turut memengaruhi pelemahan rupiah. Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah akan melanjutkan pelemahan pada perdagangan selanjutnya, dengan rentang Rp 16.730—Rp 16.770 per dolar AS.