Net Sell Asing di SBN Berlanjut Dipicu Sentimen The Fed dan Inflasi Domestik

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Aliran dana asing kembali kabur dari pasar domestik pada periode 10–13 November 2025, terutama dari pasar surat berharga negara (SBN). Pelemahan minat asing ini dipicu ketidakpastian arah kebijakan The Fed dan risiko kenaikan inflasi domestik.

Bank Indonesia (BI) mencatat, berdasarkan data transaksi 10–13 November 2025, aliran modal asing keluar dari domestik atau nonresiden tercatat jual neto dari pasar obligasi pemerintah (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Paling besar jual neto ada di pasar SBN, yang mencapai Rp 6,33 triliun.

Jika dibandingkan dengan sepekan sebelumnya, total jual neto SBN ini makin meningkat. Pada data transaksi 3–6 November 2025, aliran modal asing juga mencatatkan jual neto di pasar SBN, tetapi masih sebesar Rp 2,69 triliun.

Dana Kelolaan Industri Reksadana Melonjak, Pendapatan Tetap Paling Jadi Incaran

Head of Investment Specialist Sinarmas Asset Management Domingus Sinarta Ginting memandang, penggerak yang menyebabkan dana asing keluar dari SBN di periode ini ialah sentimen ketidakpastian kebijakan The Fed di level global, serta potensi naiknya inflasi dalam jangka pendek di level domestik.

Lebih lanjut, BI juga mencatat yield SBN 10 tahun pada periode akhir hari Kamis (13/11) turun ke 6,12%. Domingus bilang, penurunan yield SBN tahun ini ditopang oleh aksi beli investor domestik.

“Terutama Bank Indonesia dan perbankan, ini kan seiring dengan meningkatnya likuiditas domestik akibat pelonggaran kebijakan moneter Bank Indonesia,” jelas Domingus kepada Kontan, Kamis (20/11/2025).

Lebih lanjut di tengah kondisi seperti ini, dia melihat prospek pasar SBN di akhir tahun 2025 dan awal tahun 2026 masih akan menantang, karena belum ada faktor penyokong yang bisa mendorong asing kembali masuk.

Berberda halnya dengan Fixed Income Analyst PEFINDO Ahmad Nasrudin, menurutnya penurunan imbal hasil ini nampaknya lebih didorong oleh valuasi yield.

Apalagi mengingat yield sempat menyentuh level 5,9% menjelang akhir Oktober 2025. Yield 10 tahun kemudian naik karena penurunan lebih lanjut semakin terbatas. Selain itu, penurunan ke level tersebut membuat SBN sudah terlalu mahal dan perlu katalis baru untuk turun lebih lanjut.

Dia pun memprediksi hingga akhir tahun yield kemungkinan akan bergerak di sekitar 4,9% hingga 6,2%. Kecenderungannya adalah di sekitar 6%.

IHSG Melemah ke 8.399,3 di Sesi Pertama Hari Ini, Top Losers LQ45: ISAT, TLKM, BUMI

“Yield yang lebih rendah ke depan itu sesuatu yang normal mempertimbangkan peluang berlanjutnya pemangkasan suku bunga BI. Selain itu, gelontoran dana dari Kemenkeu diharapkan dapat meningkatkan likuiditas, yang mana bisa mendorong suku bunga turun dan yield akan mengikutinya,” ungkap Ahmad.

Terakhir Ahmad bilang, peluang masuknya kembali aliran dana asing ke SBN dalam waktu dekat juga masih terlihat terbatas mengingat sentimen eksternal dan kekhawatiran fiskal domestik saat ini.

Meskipun demikian, Indonesia memiliki peluang entry yang menarik jika faktor-faktor risiko tersebut mereda. Kata Ahmad, waktu yang paling prospektif bagi investor untuk re-entry kemungkinan besar adalah menjelang akhir kuartal I 2026 atau kuartal II 2026, ketika The Fed diperkirakan mulai memberikan sinyal dovish yang lebih jelas dan ketidakpastian politik domestik mereda.

 

“Pada titik tersebut, SBN Indonesia yang telah terkoreksi akan menawarkan tingkat imbal hasil riil yang kompetitif, mendorong investor untuk melakukan rebalancing kembali ke pasar yang dinilai memiliki potensi keuntungan tinggi,” pungkasnya.