
Ifonti.com JAKARTA. Sektor barang material di bursa saham Indonesia (IDX Basic Materials) menunjukkan kinerja yang melambat, tertinggal dari sektor-sektor lain. Meskipun demikian, sektor ini tetap menyimpan potensi menarik bagi para investor yang jeli.
Dalam sebulan terakhir, hingga Kamis (27/11), IDX Basic Materials mencatatkan pertumbuhan sebesar 2,39%, mencapai level 1.994,87. Angka ini masih di bawah performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berhasil melesat 5,28% pada periode yang sama.
Secara *year-to-date* (ytd), IDX Basic Materials tumbuh 56,56%. Angka ini memang cukup signifikan, namun masih kalah dibandingkan sektor teknologi (+156,65%), industri (+79,56%), serta properti dan real estat (+58,66%). Padahal, sebelumnya sektor barang material sempat menjadi primadona, menempati posisi kedua terbaik setelah sektor teknologi.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Reza Diofanda, menjelaskan bahwa perlambatan ini bukan hanya disebabkan oleh perputaran investasi ke sektor lain seperti teknologi, industri, atau properti. Koreksi harga pada beberapa saham yang menjadi penggerak utama indeks juga turut memengaruhi.
Saham-saham seperti AMMN, MDKA, ANTM, INCO, NCKL, MBMA, hingga TPIA mengalami koreksi seiring dengan penurunan harga komoditas utama seperti tembaga, nikel, emas, dan petrokimia. Sebagai contoh, harga saham INCO merosot 10,51% dalam sebulan terakhir, menjadi Rp 3.830 per saham, akibat melemahnya harga nikel.
“Penurunan harga komoditas menekan margin keuntungan dan menciptakan sentimen negatif pada saham-saham berkapitalisasi besar,” ungkap Reza pada Rabu (26/11/2025).
Selain itu, valuasi beberapa emiten besar di sektor ini dianggap sudah meningkat tajam sejak awal tahun 2025, sehingga potensi kenaikannya menjadi terbatas. Permintaan industri global, termasuk dari Tiongkok, yang belum pulih sepenuhnya juga turut menahan laju kinerja emiten di subsektor barang material.
“Secara fundamental, sektor ini tetap solid, namun momentumnya memang sedang melemah,” imbuhnya.
Arinda Izzaty, Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, menambahkan bahwa aksi *profit taking* turut berperan dalam perlambatan indeks barang material, setelah mengalami kenaikan signifikan sejak awal tahun.
Sebagian besar katalis positif di sektor ini juga sudah terealisasi, sehingga pelaku pasar kini menunggu pemicu baru yang belum terlihat jelas. “Sentimen global terkait perlambatan ekonomi dunia dan tekanan dari pasar komoditas juga menciptakan kecenderungan kinerja yang lebih konservatif pada sektor ini,” jelas Arinda pada Rabu (26/11/2025).
Menurut Arinda, prospek saham-saham sektor barang material pada sisa tahun 2025 hingga 2026 akan bervariasi, tergantung pada dinamika komoditas global. Jika tekanan harga komoditas berlanjut, bukan tidak mungkin sektor barang material akan kembali tertinggal dari sektor lain seperti teknologi, properti, dan industri.
Namun, peluang kebangkitan sektor ini tetap terbuka jika terjadi pemulihan ekonomi global, gangguan pasokan yang mendorong harga komoditas naik, serta peningkatan permintaan dari industri baterai atau kendaraan listrik dan konstruksi.
Arinda memprediksi subsektor emas berpotensi mencatatkan kinerja yang relatif lebih kuat jika ketidakpastian ekonomi global meningkat. Sementara itu, subsektor kimia, semen, dan material industri dapat terbantu oleh pembangunan infrastruktur domestik dan hilirisasi.
“Arah sektor ini pada 2025—2026 tidak sepenuhnya negatif, melainkan akan bergerak secara siklikal, lebih volatil, dan sangat dipengaruhi oleh siklus komoditas dunia,” tambahnya.
Reza menjelaskan bahwa sentimen positif bagi saham-saham barang material antara lain ekspektasi penurunan suku bunga acuan global, potensi pemulihan permintaan dari Tiongkok, penguatan permintaan domestik di segmen infrastruktur dan properti, serta penurunan biaya energi.
Sebaliknya, sentimen negatif yang perlu diwaspadai meliputi siklus harga komoditas yang masih bergerak datar, risiko pelemahan rupiah bagi emiten pengimpor bahan baku, dan valuasi yang ketat pada sejumlah saham *big caps* setelah reli besar di awal tahun.
“Dengan kombinasi faktor tersebut, kinerja harga saham kemungkinan bergerak lebih moderat dibandingkan sektor lain yang lebih sensitif terhadap penurunan suku bunga,” jelas Reza.
Dari analisis tersebut, Reza merekomendasikan saham IMPC, MBMA, dan HRTA untuk dikoleksi oleh investor. Saham IMPC ditargetkan dapat menembus kisaran level Rp 3.290—Rp 3.500 per saham, MBMA di kisaran level Rp 635—Rp 700 per saham, sedangkan HRTA di kisaran level Rp 1.650—Rp 1.700 per saham.
Sementara itu, Arinda merekomendasikan saham BRPT dan BRMS untuk dicermati oleh investor, dengan target harga masing-masing di level Rp 3.640 per saham dan Rp 1.060 per saham. Secara umum, sektor barang material tetap menarik bagi investor jangka menengah dan panjang, terutama bagi mereka yang memahami karakter siklikal komoditas dan bersedia memanfaatkan fase *undervalued* untuk akumulasi beli.
Namun, bagi investor yang mengutamakan stabilitas, sektor ini dinilai bukan pilihan utama, kecuali untuk saham-saham dengan fundamental kokoh dan volatilitas rendah.
Ringkasan
Sektor barang material di IDX menunjukkan perlambatan kinerja dibandingkan sektor lain seperti teknologi dan properti, meskipun secara *year-to-date* masih mencatatkan pertumbuhan signifikan. Perlambatan ini disebabkan oleh koreksi harga saham-saham utama seiring penurunan harga komoditas seperti tembaga, nikel, dan emas, serta aksi *profit taking* setelah kenaikan signifikan di awal tahun.
Analis merekomendasikan saham IMPC, MBMA, HRTA, BRPT, dan BRMS untuk dicermati investor. Prospek sektor ini pada sisa tahun 2025 hingga 2026 akan bervariasi, dipengaruhi dinamika komoditas global, pemulihan ekonomi global, dan permintaan dari industri baterai dan konstruksi. Sektor ini tetap menarik bagi investor jangka menengah dan panjang yang memahami siklus komoditas.