PIKIRAN RAKYAT – Jawa Barat menargetkan pemulihan ekonomi pada akhir 2025, dengan fokus utama pada penguatan permintaan domestik di tiga sektor strategis: properti, kendaraan bermotor, dan pariwisata. Sektor-sektor ini dianggap krusial karena efek domino ekonominya yang luas, merambah dari industri material bangunan hingga jasa transportasi dan MICE.
“Penguatan penjualan dan aktivitas di tiga sektor ini menjadi kunci untuk mempercepat momentum pertumbuhan ekonomi daerah,” tegas Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat, Muhamad Nur.
Pernyataan ini disampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat, Bandung. FGD ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah Daerah, OJK, pelaku industri (REI, AISI), perbankan, dan dinas terkait. Tujuan utamanya adalah memperkuat sinergi antara kebijakan dan pembiayaan untuk mengidentifikasi kebijakan yang efektif dalam mendongkrak permintaan.
Beberapa potensi yang dibahas antara lain pemberian diskon akhir tahun untuk properti dan kendaraan, relaksasi pajak daerah, serta penyediaan skema pembiayaan yang lebih menarik dari perbankan dan perusahaan pembiayaan. Sinergi ini diharapkan menciptakan ekosistem pembiayaan yang lebih sehat, inklusif, dan kondusif, sehingga mendorong masyarakat untuk membeli properti dan kendaraan.
“Kami berkomitmen untuk terus mendorong stabilitas dan optimisme ekonomi Jawa Barat melalui langkah konkret yang mampu meningkatkan keyakinan konsumen, memperkuat mobilitas masyarakat, serta merangsang transaksi menjelang akhir tahun,” lanjut Muhamad Nur.
Bank Indonesia berperan aktif memastikan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan koordinasi dengan pemerintah daerah serta industri berjalan selaras. Tujuannya adalah menjaga stabilitas, meningkatkan aktivitas ekonomi, dan mempercepat pemulihan tingkat penjualan sektor-sektor strategis tersebut.
Direktur Pengawasan PUJK, EPK dan LMS Kantor OJK Provinsi Jawa Barat, Yuzirwan, menyoroti perlambatan kinerja kredit di sektor perumahan dalam tiga tahun terakhir. Secara year on year, pertumbuhan kredit perumahan tercatat 13,16% pada September 2023 dengan nominal Rp 231,24 triliun, melambat menjadi 12,19% (Rp 259,43 triliun) pada 2024, dan semakin turun menjadi 5,10% (Rp 272,66 triliun) per September 2025.
Perlambatan ini berdampak pada kenaikan Non Performing Loan (NPL), dari 3,03% pada September 2023 menjadi 3,00% pada September 2024, dan meningkat signifikan menjadi 4,08% pada September 2025.
Meskipun sektor perumahan merupakan kebutuhan dasar yang terus meningkat, masih ada tantangan besar seperti backlog perumahan dan keterbatasan akses pembiayaan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, banyak pelaku usaha kecil di sektor konstruksi dan bahan bangunan yang memiliki potensi besar namun belum terjangkau oleh lembaga keuangan formal.
Pemerintah berupaya mengatasi masalah ini melalui program kredit perumahan, yang ditujukan khusus untuk mendukung UMKM di sektor perumahan. Program ini bertujuan membantu pembiayaan usaha yang berkaitan dengan pembangunan, renovasi, dan penyediaan bahan atau jasa perumahan, seperti tukang bangunan, produsen material, kontraktor kecil, dan usaha jasa terkait.
“OJK mendukung pengembangan Kredit Program Perumahan untuk meningkatkan pencapaian kredit dan mendorong tercapainya Program Pemerintah 3 Juta Rumah. Akan tetapi, harus memperhatikan beberapa hal, antara lain penguatan analisis dan peningkatan pengawasan, serta memonitor keseimbangan supply and demand perumahan dan memitigasi terjadinya gagal bayar pada KUR perumahan,” jelas Yuzirwan.
Data dari DPD REI Jabar menunjukkan bahwa backlog perumahan berdasarkan kepemilikan di Jawa Barat mencapai 2,1 juta unit. Realisasi penjualan perumahan dari anggota REI Jabar selama 2024, menurut data Tapera, adalah 12.046 unit rumah subsidi (FLPP) dan 16.124 unit rumah komersil.
“Hingga November 2025, realisasi penjualan anggota kami sebanyak 9.598 unit rumah subsidi dan 2.885 unit rumah komersil,” ungkap Wakil Ketua DPD REI Jabar, Yudha Perkasa.
Untuk mencapai target pemerintah dalam pengadaan 3 juta rumah, REI Jabar mengakui masih ada kendala di lapangan, seperti moratorium aturan-aturan baru dari Pemerintah (ATR BPN dan Kementerian Pertanian) terkait LSD (lahan sawah dilindungi) dan LBS (lahan baku sawah).
Serapan KPR juga terhambat oleh permasalahan SLIK OJK, kuota KPR subsidi yang masih kurang, bunga floating komersil, serta persoalan Non fixed income dari konsumen.
“Oleh karena itu, penyederhanaan sistem perizinan dan kepastian waktu terhadap perijinan sangat penting agar sektor perumahan bisa mendukung program 3 juta rumah dan mengurangi backlog,” pungkas Yudha Perkasa.
Ringkasan
Jawa Barat menargetkan pemulihan ekonomi pada akhir 2025 dengan fokus pada sektor properti, kendaraan bermotor, dan pariwisata. Penguatan permintaan domestik di tiga sektor ini dianggap krusial karena efek domino ekonominya yang luas. Berbagai pemangku kepentingan berupaya memperkuat sinergi antara kebijakan dan pembiayaan untuk mendongkrak permintaan melalui diskon, relaksasi pajak, dan skema pembiayaan yang menarik.
Kinerja kredit di sektor perumahan mengalami perlambatan dan peningkatan NPL. Pemerintah mendukung program kredit perumahan untuk UMKM di sektor perumahan, namun perlu penguatan analisis, pengawasan, dan mitigasi gagal bayar. DPD REI Jabar menyoroti kendala seperti moratorium aturan lahan dan permasalahan SLIK OJK yang menghambat serapan KPR, sehingga penyederhanaan perizinan menjadi kunci untuk mendukung program 3 juta rumah.