BNI Sekuritas prediksi IHSG tembus 9.100 di tahun 2026

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. BNI Sekuritas menilai prospek pasar modal Indonesia pada 2026 tetap konstruktif dengan kecenderungan positif, seiring perubahan dinamika global yang berbalik dari tekanan (headwind) menjadi pendorong (tailwind).

Outlook ini didukung oleh kondisi suku bunga global yang memasuki fase penurunan, dengan The Fed yang diproyeksikan memangkas suku bunga sekitar 3%–3,5% pada akhir 2026. Selain itu, pelemahan struktural dolar Amerika Serikat berpotensi mendorong alokasi dana kembali ke emerging market, termasuk Indonesia.

Dus, BNI Sekuritas memprediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 9.100 pada akhir 2026. Target tersebut mencerminkan valuasi sekitar price to earnings (P/E) 13 kali, atau setara 0,9 standar deviasi di bawah rata-rata lima tahun.

Gunawan Dianjaya (GDST) Bagi Dividen Interim Bulan Depan, Cek Rincian dan Jadwalnya

VP Equity Research PT BNI Sekuritas Yulinda Hartanto mengatakan penggerak pasar tahun depan tidak hanya didorong oleh investor asing. Tetapi investor domestik seperti institusi lokal, dana pensiun, perbankan serta peran Danantara akan menjadi penopang utama reli lanjutan. 

Posisi kepemilikan institusional lokal yang masih rendah membuka ruang structural re-rating, sementara arus asing berperan sebagai katalis tambahan ketika valuasi dan stabilitas makro semakin menarik.

Sentimen Pendukung dan Pemberat Kinerja IHSG di 2026

Yulinda mengungkapkan sejumlah sentimen yang berpotensi menopang kinerja IHSG pada 2026.

Pertama, kebijakan moneter yang akomodatif. Bank Indonesia telah memangkas suku bunga secara kumulatif sebesar 125 basis poin sepanjang 2025 dan masih memiliki ruang pelonggaran lanjutan pada 2026, selama stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga.

Kedua, membaiknya likuiditas sistem keuangan. Penurunan outstanding SRBI serta relokasi dana pemerintah ke perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai mampu meningkatkan likuiditas perbankan dan pasar keuangan secara keseluruhan.

Ketiga, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang pro pertumbuhan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% dengan defisit fiskal tetap terjaga di kisaran 2,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), disertai peningkatan belanja sosial pada sektor perumahan, energi, pangan, dan infrastruktur.

Keempat, dukungan kebijakan dari China (policy floor). Stimulus fiskal serta upaya stabilisasi sektor properti di Negeri Tirai Bambu diharapkan dapat menjaga harga dan volume ekspor komoditas Indonesia.

Begini Fokus Pengembangan Bisnis Darma Henwa (DEWA) pada 2026

Sementara, sentimen pemberat datang dari risiko perlambatan global atau stagflasi AS yang dapat memperkuat dolar AS, potensi eskalasi tarif AS (Trump risk) yang meningkatkan volatilitas global, implementasi Core Tax System yang berpotensi menekan kepercayaan bisnis dan konsumsi pada fase awal, serta ketidakpastian regulasi eksternal seperti EU deforestation rule untuk rantai Crude Palm Oil (CPO).

Rotasi Sektor

BNI Sekuritas memproyeksikan terjadinya rotasi sektor dari saham-saham yang sebelumnya banyak digerakkan oleh spekulasi ritel menuju saham berkapitalisasi besar dan sektor yang ditopang fundamental kuat. 

Yulinda mengungkapkan sejumlah sektor yang diperkirakan menjadi unggulan pada 2026. Pertama, konsumer dan sektor proksi seperti telekomunikasi dan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) berpotensi memperoleh manfaat dari penurunan suku bunga serta dukungan stimulus fiskal.

Kedua, sektor kesehatan dan bahan bangunan yang berpotensi diuntungkan oleh realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pergerakan siklus industri perumahan.

Ketiga, komoditas terpilih seperti batu bara, CPO dan saham terkait nikel, seiring harga yang dinilai telah mendekati titik bawah dan prospek permintaan global yang berangsur membaik.

Keempat, saham siklikal berkualitas dan emiten berkapitalisasi besar seperti Astra, Telkom, dan Unilever yang saat ini masih relatif under owned.

CGS Sekuritas Beli Saham Darma Henwa (DEWA) di Harga Diskon Rp 179 Miliar

Tak hanya itu, saham-saham konglomerat juga dinilai menarik pada tahun depan. Ini didukung diversifikasi bisnis yang memberikan resiliensi siklus, posisi kuat dalam sektor konsumsi, otomotif, infrastruktur dan keuangan serta likuiditas tinggi dan menjadi tujuan utama rebalancing institusi lokal dan asing.

“Saham konglomerat berkapitalisasi besar, terutama yang sebelumnya tertinggal akibat arus keluar asing berpotensi mengalami valuation catch up dalam lingkungan suku bunga menurun dan likuiditas membaik,” kata Yulinda kepada Kontan, Selasa (23/12/2025).

Di sisi lain, Yulinda menilai kekhawatiran terhadap potensi tech bubble lebih relevan terjadi di pasar Amerika Serikat, yang saat ini sangat terkonsentrasi pada saham-saham kecerdasan buatan (AI) berkapitalisasi besar. Sementara itu, karakter sektor teknologi di Indonesia dinilai berbeda.

Ia mencatat, kinerja saham teknologi domestik sepanjang 2025 memang mencatatkan penguatan signifikan, namun ditopang oleh basis yang relatif sempit serta likuiditas yang terbatas. Selain itu, tingkat valuasi dan model bisnis emiten teknologi masih sangat selektif, sehingga risiko terbentuknya gelembung secara sistemik dinilai relatif rendah.

Dalam skenario global risk-off, saham teknologi lokal berpotensi mengalami volatilitas yang lebih tinggi, namun tidak diperkirakan menjadi sumber tekanan sistemik terhadap pergerakan IHSG.

“Kesimpulannya, sektor teknologi Indonesia tetap oportunistik, bukan core allocation dan sangat bergantung pada seleksi saham serta arus likuiditas domestik,” ucap Yulinda.

Pendanaan Emiten

Yulinda memandang 2026 sebagai momentum kebangkitan pasar obligasi. Menurutnya, obligasi baik Surat Berharga Negara (SBN) maupun obligasi korporasi, dinilai menjadi instrumen pendanaan paling atraktif seiring penurunan imbal hasil SUN tenor 10 tahun yang diproyeksikan menuju kisaran sekitar 5,8% pada akhir 2026.

Maybank: Merdeka Copper (MDKA) Bisa Cetak Untung Tahun Depan Berkat Proyek Emas Pani

“Likuiditas domestik yang kuat membuat pasar obligasi relatif tahan terhadap volatilitas arus asing,” ujar Yulinda.

Sementara itu, aktivitas IPO diperkirakan tetap berlangsung selektif, dengan penekanan pada emiten berkualitas dan valuasi yang rasional. Di sisi lain, pembiayaan melalui perbankan kembali kompetitif seiring penurunan biaya dana serta pelonggaran kebijakan makroprudensial oleh Bank Indonesia.