BALIKPAPAN, Ifonti.com. Rencana penawaran umum perdana saham (IPO) oleh emiten-emiten pelat merah dan anak usahanya, yang kini berada di bawah naungan Danantara, masih belum menunjukkan titik terang yang jelas. Emiten pelat merah terakhir yang resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) pada 24 Februari 2023 lalu.
Kala itu, nilai IPO PGEO tercatat fantastis, mencapai Rp 9,06 triliun. Lebih dari dua tahun berselang, harga saham PGEO kini berada di level Rp 1.580 per saham, melonjak 80,57% dari harga IPO-nya, menandakan kinerja yang cukup positif di pasar modal.
Pada periode yang sama, PT Pertamina Hulu Energi (PHE), yang juga merupakan anak usaha PT Pertamina, sempat dikabarkan akan segera menyusul PGEO untuk melantai di bursa. Namun, kondisi pasar yang tidak kondusif, ditambah dengan tekanan pada harga minyak dunia, menyebabkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) – selaku pemegang saham PT Pertamina saat itu – memutuskan untuk menunda rencana IPO PHE. Kementerian BUMN saat itu menegaskan perlunya kajian lebih lanjut mengenai rencana strategis tersebut.
Kementerian BUMN mengarahkan PHE untuk lebih fokus pada penggenjotan eksplorasi dan produksi, serta melakukan merger dan akuisisi di luar negeri guna meningkatkan kapasitas dan volume produksi migas. Sejak PT Pertamina kini berada di bawah Danantara, status rencana IPO PHE masih buram. Bahkan, santer terdengar kabar bahwa sister company PHE, yakni PT Pertamina International Shipping, justru yang berpotensi melantai di bursa pada tahun ini.
Menanggapi hal ini, Senior Manager External Communications & Stakeholder Relations PT Pertamina Hulu Energi, Fitri Erika, menyatakan pada Selasa (12/8) bahwa keputusan IPO sepenuhnya tergantung pada pemegang saham. Erika menambahkan bahwa saat ini pihaknya tengah melakukan upaya agresif untuk menemukan cadangan migas baru. “Kami juga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan merger dan akuisisi jika memang nilai ekonominya sesuai dengan aturan perusahaan yang berlaku,” imbuh Erika.
Dalam upaya mempercepat eksplorasi di wilayah-wilayah baru, Erika menyebutkan bahwa PHE senantiasa berkoordinasi erat dengan pemerintah daerah untuk memastikan kelancaran proses perizinan. Terakhir, komitmen PHE dalam negeri semakin diperkuat dengan pengantongan dua kontrak domestik baru. PHE berhasil menandatangani Kontrak Bagi Hasil Wilayah Kerja (WK) Melati dan WK Binaiya, yang merupakan hasil dari lelang Wilayah Kerja tahap I dan II pada tahun 2024.
Sebagai Subholding Upstream Pertamina, PHE mencatatkan produksi minyak dan gas (migas) yang impresif, mencapai 1,04 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD) hingga akhir semester pertama 2025. Total produksi ini terdiri dari produksi minyak sebesar 557 ribu barel per hari (MBOPD) dan produksi gas sebesar 2.798 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Selain itu, PHE juga aktif dalam kegiatan pengembangan dengan penyelesaian pengeboran sebanyak 404 sumur pengembangan, diikuti dengan 628 kegiatan workover dan 18.714 kegiatan well services. Dalam ranah eksplorasi, PHE mencatatkan survei Seismik 3D sepanjang 539 kilometer persegi selama semester I 2025.
Dari pengeboran eksplorasi yang telah dilakukan hingga semester I 2025, PHE berhasil menambah sumber daya 2C (contingent resources) dengan realisasi 2C Validation sebesar 804 juta barel setara minyak (MMBOE). Capaian penting lainnya adalah penambahan cadangan migas terbukti (P1) sebesar 63 juta barel setara minyak (MMBOE), menegaskan potensi masa depan perusahaan.
Dari segi keuangan, pada akhir tahun 2024, PHE membukukan total aset sebesar US$ 30,43 miliar. Angka ini memang menurun tipis jika dibandingkan dengan US$ 30,89 miliar yang tercatat pada akhir tahun 2023. Meskipun demikian, pendapatan PHE juga sedikit turun 1,65% menjadi US$ 14,33 miliar. Menariknya, di tengah penurunan tipis aset dan pendapatan, laba bersih PHE pada tahun 2024 justru menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 15,38%, mencapai US$ 3 miliar, mencerminkan efisiensi operasional dan manajemen biaya yang efektif.