
Ifonti.com – JAKARTA. Pelemahan indeks dolar Amerika Serikat (AS) di akhir tahun ini seharusnya dapat membuka peluang penguatan rupiah. Namun, kebutuhan dolar yang tinggi serta arus modal asing yang masih terbatas membuat rupiah masih sulit merangkak naik.
Indeks dolar AS (DXY) kembali tertekan ke level di bawah 100. Mengutip Bloomberg, Senin (29/12/2025) pukul 15.44 WIB, indeks dolar ada di level 98,03. Dalam sebulan, indeks dolar turun 1,44%.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyebut, bahwa tekanan yang terjadi pada indeks dolar pada periode ini didorong oleh sentimen penguatan sejumlah mata uang utama lain seperti Euro.
Divestasi Berlanjut, Chengdong Corporation Jual 3,71 Miliar Saham BUMI
Pasar mulai mem-priced in bahwa siklus pemangkasan suku bunga ECB telah selesai, bahkan membuka ruang kenaikan suku bunga pada 2026. Selain itu, kenaikan suku bunga oleh BoJ jadi 0,75% pada pertemuan Desember juga menambah tekanan tambahan pada dolar AS.
Kata David, tekanan terhadap DXY masih berpotensi berlanjut pada 2026 apabila The Fed tetap melanjutkan kebijakan pelonggaran, sementara bank sentral lainnya mulai menaikkan suku bunga.
Sementara Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto berpandangan bahwa pelemahan DXY pada akhir tahun ini disebabkan oleh dampak penurunan The Fed Rate pada bulan Desember 2025 yang memangkas suku bunga acuan AS jadi 3,50% – 3,75%.
Namun, Myrdal membidik penguatan kembali DXY akan terjadi dalam jangka waktu dekat.
“Saya lihat awal tahun DXY akan menguat lagi, karena permintaan dolar yang tinggi untuk kebutuhan investasi di AS. Itu yang akan memperkuat posisi DXY di awal tahun,” ujar Myrdal kepada Kontan, Senin (29/12/2025).
Lebih lanjut, dengan melemahnya DXY, seharusnya momentum ini juga membuka peluang bagi rupiah untuk menguat. “Pelemahan DXY dapat meringankan tekanan terhadap rupiah,” ujar David.
Rupiah Ditutup Melemah ke Rp 16.788 Per Dolar AS Hari Ini (29/12), Baht Ambles 1%
Tren pelemahan mata uang garuda yang masih berlangsung hingga saat ini dipengaruhi oleh arus keluar investor asing dari pasar obligasi domestik. Maka, rupiah akan berpotensi menguat jika DXY melanjutkan tren koreksi, arus modal asing kembali masuk ke pasar obligasi dan saham domestik, serta persepsi risiko fiskal membaik.
Tetapi Myrdal berpandangan sebaliknya, rupiah masih akan bergerak volatile pada paruh pertama tahun 2026. Periode ini bertepatan dengan meningkatnya kebutuhan impor, terutama menjelang dan saat musim puncak Lebaran karena akan mendorong permintaan dolar AS.
Selain itu, pada April hingga Mei biasanya terjadi peningkatan kebutuhan valuta asing untuk pembayaran dividen ke luar negeri, pelunasan utang, serta pembayaran bunga utang.
Meski demikian, Myrdal menilai apresiasi rupiah masih terbuka. Hal ini seiring kecenderungan penguatan dolar AS terhadap rupiah yang bersifat musiman serta dampak positif kebijakan devisa hasil ekspor (DHE). Kebijakan tersebut dinilai meningkatkan pasokan dolar AS di dalam negeri, sehingga memperbesar ruang stabilisasi nilai tukar.
Selain itu, realisasi kinerja perdagangan luar negeri yang terus mencatatkan surplus serta potensi kembalinya aliran modal asing ke pasar keuangan domestik, baik pasar saham maupun Surat Berharga Negara (SBN), juga menjadi faktor pendukung penguatan rupiah di tahun 2026.
“Memang secara fundamental harusnya rupiah itu menguat. Tapi karena kebutuhan dolar AS masih tinggi, realisasi dari FDI belum terlihat, realisasi hasil ekspor-nya juga belum kelihatan, ini yang membuat kenapa rupiah masih relatif tertekan terhadap dolar AS,” jelas Myrdal.
Dengan berbagai faktor di atas, David memproyeksi rupiah pada tahun 2026 akan bergerak di kisaran Rp 16.800 – Rp 17.000 per dolar AS. Sementara Myrdal memproyeksi rupiah akan berada di rentang Rp 16.149 – Rp 16.922 per dolar AS.