JAKARTA – Data inflasi Amerika Serikat (AS) untuk Juli 2025 yang dirilis pada 12 Agustus lalu telah memberikan sinyal ganda yang kompleks bagi dinamika pasar keuangan Indonesia dan proyeksi nilai tukar rupiah ke depan. Angka inflasi tahunan AS, yang diukur melalui headline Consumer Price Index (CPI), tercatat di level 2,7% secara tahunan (YoY), sedikit di bawah ekspektasi pasar sebesar 2,8%. Namun, di sisi lain, inflasi inti (core CPI) menunjukkan kenaikan tipis menjadi 3,1% YoY, melampaui perkiraan 3,0%.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyoroti bahwa data ini mengindikasikan adanya tekanan harga inti di AS yang masih persisten, meskipun inflasi umum berhasil tetap terkendali. Kondisi ekonomi makro AS yang demikian, menurutnya, membuka ruang bagi bank sentral AS, The Fed, untuk mulai mempertimbangkan pemangkasan suku bunga acuan mereka. Pasar keuangan global kini hampir meyakini bahwa The Fed akan melonggarkan kebijakan moneternya pada bulan September 2025. Bahkan, terbuka potensi pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps), sejalan dengan tekanan politik dari Presiden Donald Trump dan pernyataan Menteri Keuangan AS Scott Bessent.
“Ekspektasi penurunan suku bunga The Fed ini telah menekan imbal hasil US Treasury dan indeks dolar (DXY), sehingga memicu sentimen risk-on di pasar negara berkembang,” terang Josua kepada Kontan, Rabu (13/8). Sentimen positif ini menjadi angin segar bagi Indonesia. Prospek penurunan Fed Rate secara signifikan mengurangi tekanan pada selisih imbal hasil (yield spread) Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia dan secara langsung mendorong peningkatan minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Tanah Air. Hal ini terbukti dari lelang SBN terbaru yang mencatat penawaran fantastis hingga Rp162 triliun, angka tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Arus deras dana asing tersebut memberikan tambahan suplai valuta asing yang signifikan di pasar domestik, berkontribusi pada penguatan nilai tukar rupiah. Pada perdagangan 13 Agustus, rupiah di pasar spot berhasil menguat impresif 0,54% ke level Rp16.202 per dolar AS. Sejalan dengan penguatan rupiah, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun juga menunjukkan penurunan ke 6,41%, sebuah indikasi jelas akan penurunan premi risiko investasi di Indonesia. Josua memperkirakan bahwa selama sentimen positif global ini dapat dipertahankan, nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan terus mendapatkan dukungan kuat.
Hingga akhir kuartal III-2025, aliran modal asing diprediksi akan terus mengalir masuk, terutama menargetkan SBN dan saham-saham berkapitalisasi besar. Rupiah berpotensi bergerak dalam kisaran Rp16.100–Rp16.300. Bahkan, ada peluang bagi rupiah untuk menembus level Rp16.100 jika data ekonomi AS berikutnya, seperti producer price index (PPI) dan penjualan ritel, memberikan dukungan lebih lanjut bagi kebijakan moneter AS yang lebih longgar. Meskipun demikian, Josua mengingatkan bahwa risiko pembalikan arah selalu ada, terutama jika inflasi AS kembali memanas atau The Fed memberikan sinyal yang lebih hati-hati terkait kebijakan moneternya.
Menambahkan pandangannya, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memproyeksikan bahwa dampak dari tarif baru AS akan mulai terlihat pada bulan September. Ia memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan yang sama. “Ekonomi Indonesia pada semester II akan menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan semester I, sehingga memberikan efek positif bagi pertumbuhan ekonomi, arus modal, dan tentu saja nilai tukar rupiah,” pungkas David, memberikan optimisme terhadap prospek ekonomi domestik.
Ringkasan
Data inflasi AS terbaru menunjukkan sinyal campuran, dengan inflasi utama sedikit di bawah ekspektasi namun inflasi inti sedikit lebih tinggi. Hal ini membuka peluang bagi The Fed untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga, kemungkinan pada bulan September 2025, yang berpotensi menekan imbal hasil US Treasury dan indeks dolar.
Ekspektasi penurunan suku bunga The Fed memicu sentimen risk-on yang menguntungkan pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Arus dana asing masuk yang deras memperkuat nilai tukar rupiah, dengan potensi bergerak dalam kisaran Rp16.100–Rp16.300 per dolar AS, bahkan mungkin menembus Rp16.100 jika data ekonomi AS selanjutnya mendukung pelonggaran moneter lebih lanjut. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester II diperkirakan lebih baik, memberikan efek positif bagi nilai tukar rupiah.