BI Rate Turun, Kenapa Bank Ogah Pangkas Bunga Kredit? Ini Alasannya!

JAKARTA. Hampir setahun berlalu sejak Bank Indonesia (BI) memulai kebijakan pelonggaran moneter dengan memangkas suku bunga acuan (BI rate) sejak September 2024. Namun, harapan akan penurunan signifikan suku bunga kredit perbankan masih belum terwujud sepenuhnya.

Sepanjang tahun ini, BI rate telah dipangkas sebanyak tiga kali, dengan total penurunan mencapai 75 basis poin (bps). Langkah ini sempat memunculkan optimisme akan berakhirnya era suku bunga tinggi. Namun demikian, data terbaru dari Bank Indonesia justru menunjukkan paradoks yang membingungkan: Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan secara industri malah mengalami kenaikan. Per Mei 2025, SBDK tercatat di angka 9,23%, naik dari posisi Desember 2024 sebesar 9,18%, dan bahkan lebih tinggi dibandingkan Mei 2024 yang berada di level 8,81%.

Kenaikan SBDK ini mengindikasikan bahwa perbankan belum merespons secara linier penurunan BI rate. Persaingan likuiditas acap kali disebut-sebut sebagai penyebab utama sulitnya bank menurunkan bunga kredit. Akan tetapi, data rasio likuiditas perbankan yang diukur melalui loan to deposit ratio (LDR) kini menunjukkan indikasi pelonggaran, mencapai 86,4% per Mei 2025. Angka ini lebih rendah dibandingkan posisi Desember 2024 yang tercatat sebesar 88,62%, menandakan bahwa tekanan likuiditas mulai mereda.

Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menjelaskan bahwa suku bunga kredit di banknya belum turun signifikan karena, menurutnya, sebelumnya tidak mengalami kenaikan setinggi bunga deposito di era suku bunga tinggi. Saat ini, prioritas CIMB Niaga adalah menurunkan bunga deposito, sementara penyesuaian bunga kredit akan menyusul seiring dengan penurunan biaya dana (cost of fund) yang lebih nyata. Lani menilai, likuiditas belum sepenuhnya longgar, dan perbankan baru mampu menahan biaya dana di level yang sama.

Lani berharap pada semester II 2025, pelonggaran likuiditas akan terjadi secara lebih signifikan. Hal ini didorong oleh jatuh temponya surat utang di pasar serta rendahnya penawaran Surat Berharga Negara (SRBI), yang pada gilirannya dapat menekan bunga deposito. Sebagai contoh, catatan SBDK CIMB Niaga pada segmen kredit pemilikan rumah (KPR) per 31 Juli 2025 mencapai 8,7%, yang justru naik tipis dari 8,16% pada Januari 2025.

Senada dengan pandangan tersebut, Presiden Direktur Maybank Indonesia, Steffano Ridwan, mengakui bahwa persaingan likuiditas kini lebih terkendali dibandingkan semester I-2024. Meskipun demikian, biaya dana masih berada pada level yang tinggi. Banyak bank besar belum memangkas bunga deposito mereka, sehingga bank-bank lain cenderung menunggu langkah yang diambil oleh para pemain besar tersebut.

Steffano menegaskan bahwa suku bunga kredit pada akhirnya akan disesuaikan mengikuti pergerakan biaya dana. Namun, ia menekankan bahwa penurunan ini tidak akan dilakukan secara langsung karena memerlukan jeda waktu untuk implementasi. Ia memperkirakan, jika penurunan terjadi, suku bunga kredit korporasi akan lebih cepat turun dibandingkan segmen ritel, mengingat profil risikonya yang relatif lebih rendah.

Ringkasan

Meskipun Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate beberapa kali sejak September 2024, suku bunga kredit perbankan belum menunjukkan penurunan signifikan. Bahkan, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan secara industri mengalami kenaikan, mencapai 9,23% per Mei 2025, mengindikasikan bahwa bank belum sepenuhnya merespons penurunan BI Rate.

Bank beralasan bahwa bunga kredit sebelumnya tidak naik setinggi bunga deposito, sehingga prioritas saat ini adalah menurunkan bunga deposito terlebih dahulu. Selain itu, likuiditas dinilai belum sepenuhnya longgar, meskipun rasio LDR menunjukkan indikasi pelonggaran. Penurunan suku bunga kredit diperkirakan akan menyusul seiring penurunan biaya dana yang lebih nyata, dengan suku bunga kredit korporasi berpotensi turun lebih cepat dibandingkan segmen ritel.