Kekhawatiran Konflik Dagang AS – India, Begini Dampaknya ke Harga Minyak

Kekhawatiran yang kian memuncak terkait potensi konflik dagang antara Amerika Serikat (AS) dan India kini secara signifikan membayangi pasar, berpotensi membebani harga minyak mentah acuan global, termasuk West Texas Intermediate (WTI). Prospek ini menambah tekanan pada komoditas yang telah menunjukkan tren koreksi dalam beberapa waktu terakhir.

Pada hari Rabu (27/8) pukul 11.25 WIB, harga minyak mentah WTI terpantau menguat tipis 0,08% secara harian menjadi US$ 63,30 per barel. Namun, gambaran yang lebih luas menunjukkan bahwa secara bulanan, harga minyak mentah ini telah terkoreksi sebesar 5%, dan secara year to date (ytd), penurunannya bahkan mencapai 11,64%. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa meskipun ada pergerakan harian yang fluktuatif, tren penurunan jangka menengah tetap dominan.

Pemicu utama sentimen bearish ini adalah menguatnya sinyal konflik dagang baru antara AS dan India. Presiden AS, Donald Trump, dilaporkan telah mengumumkan akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 25% terhadap produk-produk India, yang akan mulai berlaku pada Rabu (27/8/2025) pukul 12:01 EDT (04.01 GMT). Dengan penambahan ini, total tarif yang dikenakan AS terhadap produk India akan mencapai 50%, menjadikannya salah satu tarif tertinggi yang pernah diberlakukan oleh Washington. Keputusan drastis ini diambil setelah lima putaran perundingan yang gagal mencapai kesepakatan damai.

Girta Putra Yoga, Research and Development ICDX, menyoroti dampak serius dari kebijakan ini. “Tren bearish harga minyak masih berlanjut pagi ini dipicu oleh kekhawatiran akan penurunan permintaan India selaku konsumen minyak mentah terbesar ketiga dunia akibat perang tarif baru dengan AS,” ujar Yoga kepada Kontan pada kesempatan yang sama. Pernyataan ini menegaskan bahwa India, sebagai importir energi krusial, akan sangat merasakan dampak dari perang tarif ini, yang pada gilirannya akan menekan permintaan minyak mentah global.

Selain konflik dagang AS-India, sentimen negatif juga datang dari sisi pasokan. Rusia merevisi rencana ekspor minyak mentah dari pelabuhan-pelabuhan barat dengan peningkatan sebesar 200.000 barel per hari (bph) pada bulan Agustus dari jadwal awal. Kenaikan pasokan ini terjadi setelah serangan pesawat nirawak Ukraina mengganggu operasi kilang di Rusia, sehingga membebaskan lebih banyak minyak mentah untuk pengiriman. Meskipun demikian, para penjual minyak Rusia masih menghadapi ketidakpastian lantaran belum menerima rencana pemuatan akhir untuk bulan September, karena serangan Ukraina terus berlanjut dan tenggat waktu perbaikan kilang yang berubah-ubah setiap hari.

Di tengah tekanan tersebut, terdapat beberapa faktor yang sedikit meredakan kekhawatiran pasar. Dalam laporan mingguan terbaru yang dirilis oleh grup industri American Petroleum Institute (API) untuk pekan yang berakhir 22 Agustus, menunjukkan stok minyak mentah AS turun sebesar 974.000 barel, sementara stok bensin juga menurun sebesar 2,06 juta barel. Angka-angka ini mengindikasikan adanya permintaan yang kuat di pasar energi AS. Namun, para pelaku pasar masih menantikan laporan resmi versi pemerintah yang akan dirilis pada Rabu malam oleh Energy Information Administration (EIA) untuk konfirmasi lebih lanjut.

Sentimen positif lainnya muncul dari ranah diplomasi perdagangan. Negosiator perdagangan senior China, Li Chenggang, dijadwalkan akan terbang ke Washington minggu ini untuk bertemu dengan pejabat AS. Pertemuan ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan di luar gencatan senjata tarif mereka saat ini, memicu harapan akan terbukanya jalan menuju negosiasi lebih lanjut yang dapat meredakan ketegangan di antara dua raksasa ekonomi global tersebut dan berpotensi mendukung pasar komoditas.

Menganalisis pergerakan harga, Yoga memproyeksikan bahwa harga minyak berpotensi menemui posisi resistance terdekat di level US$ 66 per barel. Namun, apabila pasar dihadapkan pada katalis negatif yang lebih kuat, harga minyak berpotensi turun ke level support terdekat di US$ 61 per barel, menunjukkan volatilitas yang tinggi di pasar.

Pengamat Komoditas dan Founder Traderindo, Wahyu Laksono, turut menyoroti pemberlakuan tarif tambahan sebesar 25% pada impor dari India. Wahyu menjelaskan bahwa alasan utama di balik tarif tambahan ini adalah pembelian minyak mentah Rusia oleh India. Presiden Trump menyatakan bahwa pembelian minyak Rusia oleh India secara langsung atau tidak langsung “mendanai mesin perang Rusia” dan mengancam keamanan nasional AS. Dengan tarif tambahan ini, total tarif AS-India pada sebagian besar impor dari India akan mencapai 50%.

Kondisi ini menempatkan India pada posisi yang sangat tidak menguntungkan dibandingkan dengan mitra dagang AS lainnya, seperti Myanmar (40%), Thailand dan Kamboja (36%), Bangladesh (35%), Indonesia (32%), Tiongkok dan Sri Lanka (30%), Malaysia (25%), serta Filipina dan Vietnam (20%). Wahyu menekankan bahwa tarif tambahan 25% ini akan mulai berlaku 21 hari setelah penandatanganan perintah eksekutif, yaitu pada 27 Agustus 2025. Terlepas dari gejolak jangka pendek, Wahyu memproyeksikan bahwa hingga akhir tahun 2025, harga minyak WTI bisa berkisar antara US$ 70 – US$ 75 per barel, terutama jika ada tanda-tanda pemulihan ekonomi global yang kuat atau pemotongan produksi lebih lanjut oleh OPEC+.