Pasar Saham Beroperasi Normal (1/9), Analis Peringatkan Kemungkinan Panic Selling

Ifonti.com – Di tengah pusaran gejolak sosial-politik yang kian memanas, mencuat wacana mendesak untuk menutup sementara perdagangan di bursa saham. Kekhawatiran utama yang melatarbelakangi usulan ini adalah potensi terjadinya panic selling, sebuah fenomena jual rugi massal yang dapat memicu kerugian luar biasa bagi para investor, khususnya bagi mereka yang berada di segmen ritel.

Situasi ini bukan tanpa alasan. Pada perdagangan Jumat (29/8/2025) lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami penurunan tajam, anjlok hingga menyentuh level 7.765, sebelum akhirnya ditutup melemah 1,53 persen di posisi 7.830. Pergerakan pasar saham yang volatil ini menjadi sinyal kuat akan adanya tekanan yang signifikan.

Menanggapi kondisi tersebut, Analis sekaligus Founder Republik Investor, Hendra Wardana, berpandangan bahwa koreksi tajam yang dialami IHSG ini lebih dominan dipicu oleh faktor-faktor domestik. Ia menekankan bahwa sentimen negatif dari dalam negeri menjadi pendorong utama pelemahan pasar.

“Apabila bursa saham tetap dipaksakan untuk dibuka dalam kondisi ini, aksi jual yang berlebihan dikhawatirkan akan semakin mendalam dan berpotensi merugikan lebih banyak investor,” tegas Hendra dalam keterangan tertulisnya pada Senin (1/9/2025). Pernyataannya ini menggarisbawahi urgensi tindakan preventif.

Menurut Hendra, mekanisme trading halt, yang biasa diterapkan untuk menghentikan perdagangan sementara, hanya akan memberikan jeda sesaat dan dinilai tidak cukup efektif untuk menenangkan pasar saham secara fundamental.

Sebaliknya, penutupan sementara bursa dipandang krusial karena dapat memberi ruang bagi investor untuk “bernapas” dan mengevaluasi kembali posisi mereka, mencegah potensi kerugian yang lebih besar. Selain itu, langkah ini juga akan memberikan waktu bagi pemerintah untuk fokus meredam eskalasi politik yang sedang terjadi.

Hendra menambahkan bahwa akar masalahnya bukan semata-mata pada aspek teknis perdagangan, melainkan terletak pada ketidakpastian kebijakan yang kian membebani. Salah satu isu krusial yang terus menjadi sorotan adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang tak kunjung menemui titik terang penyelesaiannya.

IHSG Diprediksi Melemah dalam Sepekan Mendatang, Intip Rekomendasi Saham dari IPOT

“Bagi pasar, situasi seperti ini menimbulkan kesan yang sangat buruk, seolah-olah wakil rakyat lebih memprioritaskan kepentingan pribadi daripada menyediakan arah kebijakan yang jelas dan stabil bagi negara,” kata Hendra, menjelaskan dampak sentimen negatif terhadap kepercayaan investor.

Dari sisi teknikal, IHSG diperkirakan berpotensi kembali menguji level psikologis 7.800. Apabila level ini mampu bertahan, peluang untuk terjadinya rebound terbuka lebar. Namun, jika level tersebut gagal dipertahankan dan tembus ke bawah, Indeks Harga Saham Gabungan bisa melanjutkan koreksinya lebih dalam menuju level 7.648, memperparah tekanan pada pasar.

Tanpa adanya jeda dan intervensi yang berarti, kondisi pasar yang tidak menentu ini secara langsung meningkatkan risiko kerugian bagi investor ritel, yang seringkali lebih rentan terhadap fluktuasi pasar.

Hendra juga mengingatkan bahwa penutupan sementara bursa saham bukanlah langkah yang belum pernah terjadi. Beberapa negara tercatat pernah menerapkan kebijakan serupa saat menghadapi krisis politik atau keuangan yang parah, menunjukkan bahwa ini adalah strategi yang diakui dalam manajemen krisis.

Langkah penutupan ini dapat pula diinterpretasikan sebagai sinyal tegas keseriusan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik. Ini akan membuka ruang dialog yang lebih konstruktif serta memberikan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan isu-isu fundamental yang menjadi pemicu gejolak.

Tonton: IHSG Tembus Rekor Baru di Tengah Ketegangan Sosial

Tanpa pengambilan langkah tegas dan proaktif, Hendra memperingatkan bahwa risiko capital outflow—arus keluar modal asing—akan semakin besar. Hal ini secara langsung akan menekan nilai tukar rupiah dan secara keseluruhan meningkatkan persepsi risiko politik Indonesia di mata investor global, memperburuk citra ekonomi nasional.

“Menutup bursa saham bukanlah cerminan kelemahan, melainkan sebuah strategi manajemen risiko yang krusial. Stabilitas pasar dan ekonomi hanya dapat terwujud apabila pemerintah berani dan sigap menyelesaikan isu-isu mendasar yang menjadi pangkal masalah, seperti RUU Perampasan Aset,” pungkas Hendra, menekankan pentingnya keberanian politik untuk menjaga fondasi ekonomi negara.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Pasar Saham Tetap Buka, Analis Minta Investor Perhatikan Kemungkinan Panic Selling”