Emiten Farmasi Loyo Semester I 2025: Peluang Investasi Tersembunyi?

Kinerja emiten farmasi menunjukkan variasi dan cenderung lesu sepanjang paruh pertama tahun 2025. Kendati demikian, sejumlah analis masih melihat potensi saham-saham tertentu yang layak dikoleksi oleh investor.

Salah satu yang mencatatkan performa positif adalah PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). Emiten farmasi ini berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 2,02 triliun, tumbuh signifikan 10,77% secara tahunan (YoY) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp 1,83 triliun. Penjualan KLBF juga turut mengalami peningkatan 4,5% YoY, mencapai Rp 17,07 triliun dari sebelumnya Rp 16,32 triliun.

Di sisi lain, PT Industri Jamu dan Farmasi Sidomuncul Tbk (SIDO) menghadapi tantangan. Laba bersih perusahaan tercatat menurun 1,31% YoY menjadi Rp 600,46 miliar dari Rp 608,49 miliar. Penjualan SIDO juga menyusut 3,57% YoY, dari Rp 1,89 triliun menjadi Rp 1,82 triliun. Penurunan ini merata di seluruh segmen penjualan SIDO; produk farmasi turun dari Rp 66,19 miliar menjadi Rp 62,85 miliar, jamu herbal dan suplemen dari Rp 1,11 triliun menjadi Rp 1,07 triliun, serta produk makanan dan minuman dari Rp 716,70 miliar menjadi Rp 686,48 miliar.

Direktur Utama SIDO, David Hidayat, menjelaskan bahwa pelemahan kinerja ini selaras dengan kurang bergairahnya konsumsi domestik. “Penurunan tersebut dikarenakan pelemahan konsumsi rumah tangga serta kondisi makroekonomi yang kurang baik selama semester pertama 2025,” terang David kepada Kontan pada Jumat (1/8/2025).

Untuk mengimbangi kondisi tersebut, SIDO berencana memperkuat penetrasi produk baru dan unggulan, meningkatkan efisiensi biaya, serta memperluas ekspansi ke pasar internasional. Saat ini, SIDO tengah mengembangkan pangsa pasar di wilayah Indochina, Semenanjung Arab, dan Afrika. Produk unggulan seperti Tolak Angin dan Kuku Bima Ener-G! telah didistribusikan ke lebih dari 30 negara, dengan pasar terbesar berada di Malaysia, Nigeria, dan Filipina.

Fokus ekspansi SIDO mencakup perluasan distribusi di jalur modern trade dan general trade, peluncuran produk baru yang menyasar konsumen muda, serta peningkatan jangkauan ekspor. Hingga saat ini, SIDO telah menyerap belanja modal (capital expenditure/capex) sebesar Rp 21 miliar dari total anggaran Rp 150 miliar-175 miliar untuk tahun ini. Dengan strategi ini, David optimistis laba dan penjualan SIDO dapat tumbuh lebih dari 5% pada akhir tahun 2025.

Performa positif juga ditunjukkan oleh PT Phapros Tbk (PEHA). Perusahaan ini berhasil membalikkan kerugian sebesar Rp 49,84 miliar di semester I 2024 menjadi laba senilai Rp 2,45 miliar per Juni 2025. Pertumbuhan impresif ini didukung oleh kenaikan penjualan yang mencapai 24,58% YoY, dari Rp 367,81 miliar menjadi Rp 458,22 miliar.

Sementara itu, PT Indofarma Tbk (INAF) dan PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC) masih mencatatkan kinerja kurang memuaskan di semester I 2025. INAF membukukan rugi bersih sebesar Rp 43,55 miliar, meskipun kerugian ini telah berkurang 52,27% YoY dibandingkan kerugian Rp 101,93 miliar pada semester I tahun lalu. Namun, penjualan INAF justru minus 38,90% YoY, menjadi Rp 67,02 miliar dari Rp 109,71 miliar. Adapun, laba bersih TSPC turun 16,75% YoY dari Rp 906,30 miliar menjadi Rp 754,48 miliar, dengan penjualan yang juga minus 2,63% YoY, dari Rp 6,77 triliun menjadi Rp 6,59 triliun.

Analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, menilai kinerja emiten farmasi di semester I 2025 secara keseluruhan masih relatif lemah. Hal ini diakibatkan tekanan volume penjualan, tingginya harga bahan baku, serta penurunan belanja kesehatan pemerintah. “Tapi tidak semua terkena dampak. Emiten yang memiliki diversifikasi produk yang baik dan rantai pasok lengkap seperti KLBF cenderung stabil,” jelas Wafi.

Untuk semester II 2025, Wafi memproyeksikan prospek yang beragam bagi emiten farmasi, dipengaruhi oleh berbagai sentimen positif dan negatif. Sisi positifnya meliputi potensi pemulihan permintaan obat, khususnya obat generik, peningkatan belanja kesehatan pemerintah, produksi varian obat baru, serta kenaikan angka ekspor produk kesehatan. Namun demikian, kinerja emiten farmasi juga berpotensi terganggu oleh volatilitas nilai tukar rupiah, penurunan daya beli masyarakat, dan harga bahan baku produksi obat maupun nutrisi yang masih mahal.

Senada dengan Wafi, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila, juga menyetujui analisis tersebut. Namun, khusus untuk SIDO, Indy masih melihat peluang cerah berkat segmen penjualan herbalnya. “Perhatikan strategi ekspansi untuk inovasi produk ke depannya, efisiensi biaya, dan juga perluasan pasar ekspor,” ujar Indy memberikan peringatan kepada investor.

Berdasarkan analisis tersebut, Indy merekomendasikan trading buy untuk saham KLBF dengan target harga di rentang Rp 1.500 – Rp 1.600. Sementara itu, Wafi juga merekomendasikan saham KLBF dengan target harga Rp 1.650 dan SIDO Rp 500 per saham. Untuk saham INAF, KAEF, dan PEHA, Wafi menyarankan investor untuk wait and see.

Ringkasan

Kinerja emiten farmasi pada semester I 2025 bervariasi, dengan beberapa perusahaan mencatatkan pertumbuhan positif seperti Kalbe Farma (KLBF) dan Phapros (PEHA), sementara yang lain mengalami penurunan, seperti Sidomuncul (SIDO) dan Tempo Scan Pacific (TSPC). Penurunan kinerja SIDO disebabkan oleh pelemahan konsumsi domestik dan makroekonomi yang kurang baik. Analis menilai diversifikasi produk dan rantai pasok yang lengkap menjadi kunci stabilitas emiten farmasi.

Prospek emiten farmasi di semester II 2025 dipengaruhi oleh sentimen positif seperti pemulihan permintaan obat dan peningkatan belanja kesehatan pemerintah, serta sentimen negatif seperti volatilitas rupiah dan harga bahan baku yang mahal. Analis merekomendasikan trading buy untuk saham KLBF dan merekomendasikan untuk memantau strategi ekspansi SIDO ke depannya. Untuk saham INAF, KAEF, dan PEHA, analis menyarankan investor untuk wait and see.