JAKARTA – Perdagangan minyak mentah berjangka WTI menunjukkan pergerakan fluktuatif, dengan harga mencapai sekitar US$ 61,9 per barel pada hari Selasa (23/9). Angka ini mencerminkan penurunan sebesar 0,50% dibandingkan sesi perdagangan sebelumnya. Koreksi harga ini terutama dipicu oleh upaya para pelaku pasar untuk menyeimbangkan antara potensi kelebihan pasokan minyak global dan ketidakpastian risiko yang terus membayangi pasokan dari Rusia.
Kekhawatiran akan peningkatan pasokan semakin menguat menyusul laporan yang mengindikasikan bahwa Irak berpotensi untuk kembali mengaktifkan ekspor melalui Kurdistan. Proyeksi ini, seperti dikutip dari Tradingeconomics pada Selasa (23/9), sangat signifikan mengingat ekspor tersebut telah terhenti selama lebih dari dua tahun akibat sengketa pembayaran. Jika terealisasi, langkah ini dapat mengembalikan sekitar 230.000 barel minyak mentah per hari ke pasar internasional, menambah tekanan pada harga.
Selain potensi dari Kurdistan, Irak juga telah meningkatkan volumenya dalam kerangka perjanjian OPEC+. Negara tersebut memproyeksikan pengiriman minyak mentah pada bulan September berada di kisaran 3,4 juta hingga 3,45 juta barel per hari. Peningkatan ekspor ini, dikombinasikan dengan prospek permintaan global yang cenderung melemah, semakin mempertebal spekulasi tentang potensi kelebihan pasokan yang dapat menekan pasar.
Di sisi lain, fokus pasar tetap tertuju pada upaya-upaya untuk mengekang ekspor energi Rusia, yang menjadi faktor penyeimbang kekhawatiran pasokan berlebih. Uni Eropa baru-baru ini mengusulkan paket sanksi ke-19 terhadap Rusia pada hari Jumat. Paket ini mencakup larangan impor LNG Rusia, serta pembatasan ketat terhadap 118 kapal yang diduga terlibat dalam pengiriman gelap dan beberapa perusahaan Tiongkok serta asing lainnya yang masih terlibat dalam pembelian minyak Rusia. Langkah ini bertujuan untuk membatasi pendapatan energi Moskow dan berpotensi memengaruhi stabilitas pasokan minyak global.