Freeport: Bahlil Kejar Divestasi 12% Saham, Nilai Final Oktober?

Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, tengah berupaya memfinalisasi kesepakatan krusial terkait divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Targetnya, nilai akhir pelepasan saham kepemilikan ini dapat diputuskan pada awal Oktober 2025. Bahlil menyatakan rencana untuk melangsungkan negosiasi final dengan pihak Freeport pada periode tersebut, menandai langkah signifikan dalam hubungan jangka panjang antara Indonesia dan raksasa pertambangan global tersebut.

Proses divestasi saham Freeport ini merupakan prasyarat esensial bagi PTFI untuk mendapatkan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, yang dijadwalkan akan berakhir pada tahun 2041. Berdasarkan Ayat (1) Pasal 195B Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, perpanjangan IUPK dapat diberikan setelah memenuhi sejumlah kriteria, salah satunya adalah perjanjian jual beli saham baru yang tidak terdilusi minimal 10 persen dari total kepemilikan saham kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam upaya untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara, Bahlil mengungkapkan bahwa pemerintah sedang aktif bernegosiasi dengan Freeport McMoran, induk dari PT Freeport Indonesia, agar Indonesia dapat memperoleh kepemilikan saham di atas ambang batas 10 persen. Ambisi pemerintah adalah mencapai angka kepemilikan saham sebesar 12 persen. Meskipun angka final masih belum diputuskan, Bahlil optimistis bahwa negosiasi ini akan membawa hasil yang lebih baik dan menguntungkan bagi Indonesia, dengan target akhir mencapai 12 persen.

Kepemilikan saham hasil divestasi Freeport tersebut nantinya juga akan dialokasikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Papua, yang akan mulai berlaku pada tahun 2041. Bahlil menegaskan pentingnya percepatan kepastian divestasi ini agar Freeport dapat segera melakukan eksplorasi. Ia menjelaskan bahwa proses eksplorasi untuk tambang bawah tanah jauh berbeda dan memerlukan waktu lebih lama, yakni antara 10 hingga 16 tahun, dibandingkan dengan tambang terbuka. Sebagai contoh, produksi Freeport pada 2020–2021 merupakan hasil dari eksplorasi yang telah dilakukan sejak tahun 2004.

Keterlambatan dalam perpanjangan izin operasi pertambangan Freeport dikhawatirkan akan berdampak serius. Bahlil memprediksi, jika izin tidak segera diperpanjang, puncak produksi Freeport hanya akan terjadi hingga tahun 2035, setelah itu akan mengalami penurunan signifikan. Penurunan produktivitas ini tentunya akan berimbas negatif pada pendapatan negara, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan ekonomi daerah secara keseluruhan. Oleh karena itu, komunikasi intensif dengan Freeport McMoran terus dijalin untuk mencapai kesepakatan terbaik.

Pemerintah Indonesia berencana memperpanjang kontrak izin tambang PT Freeport Indonesia selama 20 tahun, hingga tahun 2061, melampaui kontrak yang berakhir pada 2041. Bahlil juga telah melaporkan peluang peningkatan kepemilikan saham Indonesia di PT Freeport Indonesia melebihi rencana awal 10 persen kepada Presiden Prabowo Subianto. Presiden Prabowo secara khusus meminta Menteri ESDM untuk mempercepat komunikasi dengan manajemen Freeport guna mematangkan kesepakatan tersebut. Bahlil meyakinkan bahwa valuasi tambahan saham yang ditawarkan relatif murah, mengingat nilai buku aset Freeport dinilai sudah sangat tipis. Ia bahkan menargetkan agar saham tersebut diberikan dengan harga “semurah-murahnya” kepada pemerintah, dalam hal ini BUMD Papua dan MIND ID, untuk kepentingan bangsa.

Ringkasan

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menargetkan finalisasi nilai divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 12% pada awal Oktober 2025. Divestasi ini merupakan syarat penting bagi PTFI untuk memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2041, sesuai dengan PP Nomor 25 Tahun 2024. Pemerintah bernegosiasi dengan Freeport McMoran untuk mencapai kepemilikan saham yang lebih tinggi dari 10%, demi keuntungan negara.

Saham hasil divestasi akan dialokasikan ke BUMD Papua mulai 2041. Pemerintah menekankan percepatan kepastian divestasi agar Freeport dapat segera melakukan eksplorasi tambang bawah tanah yang memakan waktu lama. Perpanjangan izin operasi tambang Freeport hingga 2061 sangat penting untuk menjaga pendapatan negara, lapangan pekerjaan, dan ekonomi daerah, mengingat potensi penurunan produksi jika izin tidak diperpanjang segera.