Ifonti.com – JAKARTA. Dinamika pasar saham perbankan lapis kedua menghadapi tantangan signifikan sepanjang bulan September 2025. Mayoritas saham dari segmen ini mengalami kontraksi harga yang cukup menekan. Namun, di tengah pelemahan tersebut, sejumlah analis justru melihat adanya peluang investasi menarik yang layak dicermati oleh para investor untuk koleksi di bulan Oktober ini.
Pelemahan ini terlihat jelas pada beberapa emiten. Sebagai contoh, saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) terkoreksi sebesar 4,41% sepanjang September lalu dibandingkan bulan sebelumnya, dan ditutup pada harga Rp 2.600 per Kamis (2/10/2025). Tidak hanya BRIS, saham PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN) juga mencatat penurunan yang lebih dalam, terkontraksi 8,26% menjadi Rp 1.055.
Kondisi serupa turut dialami oleh PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) yang sahamnya terkoreksi 2,54% ke level Rp 1.345. Selanjutnya, PT Bank SMBC Indonesia Tbk (BTPN) juga mengalami pelemahan 2,82% menjadi Rp 2.070. Deretan penurunan berlanjut pada PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) yang sahamnya terkoreksi 5,18% menjadi Rp 2.380, serta PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) yang melemah 0,88% ke harga Rp 1.680. Sementara itu, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) mencatat penurunan moderat 0,39% ke Rp 1.265, dan PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII) ditutup di harga Rp 210, turun 0,94% pada perdagangan hari ini.
Berbeda dengan mayoritas, PT Bank Permata Tbk (BNLI) justru menunjukkan performa yang cemerlang. Saham BNLI berhasil mencatatkan kenaikan impresif sebesar 86,31% dalam sebulan terakhir, ditutup pada harga Rp 5.850 di perdagangan hari ini. Kenaikan ini sangat signifikan mengingat sebulan sebelumnya harga saham BNLI masih berada di level Rp 3.130.
Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer, menguraikan penyebab utama di balik pelemahan mayoritas saham bank lapis dua pada bulan September. Menurutnya, penurunan ini lebih banyak dipicu oleh kombinasi sentimen eksternal yang kurang kondusif serta kekhawatiran terhadap kondisi likuiditas. Sentimen ini menciptakan tekanan bagi emiten yang profil likuiditas dan risikonya dianggap kurang unggul.
Lebih lanjut, Mifta menjelaskan bahwa para pelaku pasar tampak mengambil sikap hati-hati, mewaspadai arah suku bunga acuan yang dinamis dan potensi perlambatan ekonomi global yang diperkirakan terjadi di akhir tahun nanti. Kehati-hatian ini mendorong investor untuk melakukan cut out atau menjual saham-saham yang dianggap kurang memiliki keunggulan kompetitif di tengah ketidakpastian tersebut.
Meskipun demikian, Mifta melihat adanya sinyal positif dari laporan keuangan perbankan yang dirilis per Agustus 2025. Ia menilai bahwa sudah ada indikasi perbaikan dari sisi fundamental perbankan lapis kedua, meskipun penguatan ini belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. “Untuk kinerja update-nya kami kira saham bank second liner ini sudah ada beberapa yang mulai menunjukkan perbaikan, meskipun belum signifikan,” kata Mifta kepada Kontan, Kamis (2/10/2025).
Menurut Mifta, kondisi ini masih terbilang wajar mengingat bank-bank lapis pertama (first liner) sekalipun masih cenderung stagnan, dihadapkan pada permintaan kredit yang lemah. Situasi ini menunjukkan bahwa seluruh sektor perbankan merasakan dampak dari kondisi makroekonomi.
Dengan mempertimbangkan analisis fundamental dan valuasi, Mifta merekomendasikan investor untuk mencermati saham BBTN. Ia menyarankan akumulasi saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk tersebut dengan target harga Rp 1.335. “Untuk sahamnya BBTN terlihat masih yang paling perform dengan up dan bottom growth dan secara valuasi juga masih cenderung menarik,” pungkas Mifta, menegaskan potensi saham bank dengan kode emiten BBTN tersebut.