Ifonti.com, NEW YORK. Pasar minyak global kembali menunjukkan gejolak pada perdagangan Senin (6/10/2025), ketika harga minyak dunia melonjak sekitar 1%. Kenaikan ini dipicu oleh keputusan penting Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, untuk meningkatkan produksi pada November dengan jumlah yang lebih kecil dari perkiraan awal. Langkah strategis ini secara efektif meredam kekhawatiran yang memuncak mengenai potensi kelebihan pasokan, meskipun proyeksi permintaan yang cenderung lesu diperkirakan akan menjadi rem bagi kenaikan harga yang lebih signifikan dalam jangka pendek.
Pada penutupan perdagangan, harga minyak mentah Brent, patokan internasional, menguat 94 sen atau 1,46%, mencapai posisi US$65,47 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat tidak ketinggalan, melonjak 81 sen atau 1,33% menjadi US$61,69 per barel. Kenaikan signifikan ini menegaskan respons positif pasar terhadap kebijakan produksi OPEC+ yang lebih konservatif.
Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates, menyoroti bahwa pasar menginterpretasikan volume minyak yang benar-benar akan masuk ke pasar jauh lebih sedikit dari yang diumumkan. “Ini mengingat beberapa anggota OPEC+ sudah berproduksi di kapasitas penuh, membatasi kemampuan mereka untuk memenuhi target kenaikan produksi,” jelas Lipow, memberikan perspektif mendalam tentang dinamika pasokan.
Keputusan kolektif OPEC+ yang diambil sehari sebelumnya mengumumkan peningkatan produksi sebesar 137.000 barel per hari (bph) mulai November, sebuah angka yang identik dengan kenaikan pada bulan Oktober. Langkah ini diambil di tengah spekulasi yang terus berlanjut mengenai potensi kelebihan pasokan di pasar global. Di balik layar, terdapat negosiasi alot di mana Rusia dilaporkan mendorong kenaikan 137.000 bph untuk menjaga stabilitas harga, sementara Arab Saudi justru menginginkan peningkatan dua, tiga, bahkan empat kali lipat demi mempercepat perebutan pangsa pasar.
Namun, kenaikan harga minyak yang terbatas ini juga dihadapkan pada sejumlah faktor penyeimbang. Seiring dengan peningkatan produksi OPEC+ yang moderat, pasar juga melihat peningkatan ekspor dari Venezuela, kembalinya aliran minyak Kurdi melalui Turki, serta masih banyaknya minyak dari Timur Tengah yang belum terjual untuk pengiriman November. Kondisi ini secara kolektif berpotensi menambah tekanan pasokan di pasar.
Analis PVM Oil Associates, Tamas Varga, menambahkan bahwa Arab Saudi memilih untuk mempertahankan harga jual resmi minyak Arab Light untuk pasar Asia tanpa perubahan. Keputusan ini mengejutkan beberapa sumber kilang di Asia yang sebelumnya disurvei Reuters, yang sempat memperkirakan akan ada kenaikan harga. Namun, ekspektasi tersebut memudar seiring peningkatan pasokan minyak dari Timur Tengah, yang bahkan memangkas premi harga hingga ke level terendah dalam 22 bulan pada pekan lalu.
Di sisi permintaan, beberapa analis memproyeksikan bahwa musim perawatan kilang yang akan datang di Timur Tengah dapat membantu membatasi harga minyak dalam waktu dekat. Selain itu, insiden di kilang minyak Kirishi, Rusia—salah satu yang terbesar—yang menghentikan unit pengolahan utamanya setelah serangan drone pada 4 Oktober, juga akan memengaruhi pasokan. Pemulihan unit tersebut diperkirakan memakan waktu sekitar satu bulan, berdasarkan keterangan dua sumber industri pada Senin.
Lebih lanjut, ekspektasi permintaan yang melemah pada kuartal keempat tahun ini menjadi faktor krusial yang menahan potensi kenaikan harga yang lebih besar. Administrasi Informasi Energi (EIA) AS melaporkan pekan lalu bahwa persediaan minyak mentah, bensin, dan distilat naik lebih tinggi dari perkiraan pada pekan yang berakhir 26 September. Peningkatan persediaan ini sejalan dengan aktivitas kilang yang melambat dan permintaan yang lesu, mengindikasikan tekanan pada sisi konsumsi.
Mengomentari prospek jangka panjang, Chris Beauchamp, Kepala Analis Pasar IG Group, menyatakan bahwa jika produksi minyak dapat meningkat lebih stabil, penurunan harga dapat lebih terkendali. “Saat ini banyak bergantung pada apakah ekonomi AS dapat kembali tumbuh sepanjang sisa 2025 hingga 2026, yang akan sangat membantu mendorong permintaan minyak global,” pungkasnya, menyoroti peran vital pemulihan ekonomi Amerika Serikat dalam menopang pasar komoditas ini.