Apakah Burden Sharing Bikin BI Cetak Uang Baru? Begini Penjelasannya

PIKIRAN RAKYAT – Dalam upaya berkelanjutan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mendukung program prioritas nasional, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI), telah mengonfirmasi kelanjutan skema berbagi beban atau burden sharing. Kebijakan strategis ini, yang akan berlaku efektif mulai tahun 2025, dirancang untuk membiayai berbagai inisiatif krusial, termasuk program Asta Cita yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Langkah ini menegaskan komitmen kuat terhadap sinergi fiskal-moneter, yang esensial untuk menjaga stabilitas dan mendorong laju perekonomian nasional.

Apa itu Burden Sharing?
Burden sharing, sebagaimana dijelaskan oleh Kemenkeu dan BI, adalah mekanisme pembagian biaya bunga yang timbul dari pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah. Dalam praktiknya, skema ini melibatkan pembagian rata biaya bunga setelah dikurangi dengan imbal hasil yang diperoleh dari penempatan dana pemerintah pada lembaga keuangan domestik. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, secara spesifik mengutarakan bahwa pembagian beban ini diarahkan untuk SBN yang mendanai program vital seperti perumahan rakyat serta inisiatif Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Implementasi pembagian beban ini dilakukan dengan mekanisme unik: pemberian tambahan bunga langsung ke rekening pemerintah yang tersimpan di Bank Indonesia. Langkah ini sekaligus mengukuhkan peran BI sebagai pemegang kas negara, meskipun detail besaran tambahan bunga tersebut belum diungkap. Baik Kemenkeu maupun BI menekankan bahwa kebijakan ini dirancang untuk senantiasa menjaga disiplin moneter yang ketat.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi Demokrat Iman Adinugraha Terkait Kasus Dugaan Korupsi CSR BI

Apakah BI Akan Mencetak Uang Baru?
Menyikapi kekhawatiran publik, Bank Indonesia telah secara tegas menyatakan bahwa skema burden sharing ini tidak serta-merta melibatkan pencetakan uang baru secara fisik, yang umumnya dikaitkan dengan pemicu inflasi langsung. Sebaliknya, BI menegaskan bahwa pembelian SBN dilakukan dengan memanfaatkan likuiditas yang telah tersedia dalam sistem perbankan. Kendati demikian, muncul pula pandangan lain yang menyebutkan bahwa akuisisi SBN oleh bank sentral, terutama dalam skala besar, secara teknis dapat dikategorikan sebagai bentuk monetisasi utang (quantitative easing). Kebijakan semacam ini memang berpotensi menambah jumlah uang beredar di perekonomian, sehingga memerlukan pengelolaan yang sangat cermat untuk menghindari risiko lonjakan inflasi.

Siapa yang Bertanggung Jawab?
Keputusan fundamental mengenai kelanjutan skema burden sharing ini merupakan hasil kesepakatan kolektif antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI). Representasi resmi atas kebijakan ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menandakan koordinasi erat kedua institusi.

Rupiah Dibuka Menguat ke Rp16.463 per Dolar AS, tapi Tekanan Pasar Belum Usai

Bagaimana Mekanismenya?
Denny menjelaskan lebih lanjut tentang implementasi burden sharing. Mekanisme operasionalnya melibatkan pemberian tambahan bunga ke rekening pemerintah yang dikelola oleh BI. Proses ini tidak hanya efisien tetapi juga berlandaskan hukum yang kuat, mengacu pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 serta Pasal 22 juncto Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Denny menegaskan bahwa sinergi strategis ini akan dilaksanakan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas dalam kerangka kebijakan fiskal dan moneter.

Kapan Berlaku?
Skema burden sharing ini secara resmi akan mulai diberlakukan pada tahun 2025. Penerapannya akan berlangsung secara berkelanjutan hingga seluruh program pemerintah yang menjadi fokus pembiayaan ini tuntas dilaksanakan, menunjukkan komitmen jangka panjang.

Mengapa Diperlukan?
Kemenkeu dan BI menggarisbawahi urgensi skema burden sharing ini sebagai instrumen krusial untuk memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah. Dengan demikian, pemerintah dapat lebih leluasa dalam menggerakkan roda pertumbuhan ekonomi serta meringankan beban yang ditanggung oleh masyarakat. Dari sisi moneter, BI meyakinkan bahwa kebijakan ini senantiasa diarahkan untuk mempertahankan stabilitas nilai Rupiah dan menjaga ketersediaan likuiditas perbankan, yang pada akhirnya akan menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Apakah akan Memicu Inflasi?
Menjawab kegelisahan publik terkait potensi inflasi, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan tegas menyatakan bahwa skema burden sharing ini tidak akan secara otomatis memicu lonjakan harga barang dan jasa. Ia menjelaskan bahwa inflasi, khususnya jenis demand pull inflation atau inflasi karena permintaan, baru akan terjadi apabila pertumbuhan ekonomi telah melampaui kapasitas potensialnya, di mana terlalu banyak uang beredar mengejar terlalu sedikit barang. Kondisi Indonesia saat ini, menurut Purbaya, masih jauh dari ambang tersebut. “Inflasi itu tumbuhnya cepat, kalau ekonomi tumbuh cepat baru bisa inflasi. Kalau pertumbuhannya di atas laju pertumbuhan ekonomi potensial. Kita 6,5% sampai 6,7%. Jadi masih jauh kalau kita bilang demand pull inflation akan terjadi,” ungkap Purbaya pada Selasa, 9 September 2025, di Istana Negara, Jakarta. Beliau menambahkan, defisit APBN atau belanja pemerintah tidak selalu menjadi pemicu inflasi; risiko tersebut baru akan meningkat jika pertumbuhan ekonomi melampaui batas kapasitasnya.