BI-FRN Rilis: Bank Antusias? Peluang Investasi Baru atau Risiko?

Ifonti.com – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) siap meluncurkan instrumen investasi baru, yaitu surat utang berbunga mengambang atau floating rate yang dinamakan BI-FRN, mulai 17 November 2025. Setelah didistribusikan melalui dealer utama, bank, hingga institusi non-bank berkesempatan untuk membeli surat utang ini. Namun, kehadiran BI-FRN memunculkan potensi dampak terhadap fungsi intermediasi perbankan.

Apa sebenarnya BI-FRN itu? Instrumen ini dirancang untuk mendukung pembentukan struktur suku bunga yang lebih responsif terhadap dinamika transaksi di pasar uang.

Saat ini, BI sedang aktif mengembangkan Overnight Index Swap (OIS), sebuah instrumen lindung nilai suku bunga yang bekerja melalui pertukaran antara pendapatan dengan suku bunga tetap (fixed rate) dan suku bunga mengambang (floating rate). Dalam konteks ini, BI-FRN akan berperan sebagai underlying atau tolok ukur pasar yang krusial bagi transaksi OIS.

Menurut Johannes Husin, Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC), peluncuran BI-FRN merupakan langkah strategis BI dalam memperdalam pasar keuangan dengan membangun benchmark rupiah floating yang kredibel.

Johannes menekankan betapa pentingnya benchmark floating bagi dunia bisnis. Ia menjelaskan bahwa penggunaan fixed rate dapat menjadi bumerang bagi korporasi jika suku bunga acuan tiba-tiba melonjak melebihi fixed rate yang telah ditetapkan sebelumnya.

Fixed rate itu sebenarnya menyimpan potensi bahaya. Begitu suku bunga naik, komposisi keuangannya bisa langsung berubah drastis,” ungkap Johannes saat diwawancarai Kontan, Senin (10/11/2025).

Namun, Johannes menyoroti bahwa banyak bank di Indonesia saat ini belum memisahkan pengelolaan risiko bunga (interest rate risk) dan risiko likuiditas (liquidity risk). Padahal, BI-FRN sebenarnya tidak secara langsung berkaitan dengan likuiditas.

Johannes menegaskan bahwa OCBC NISP menyambut baik kehadiran BI-FRN.

Bossman Mardigu dan Helmy Yahya Batal Jadi Komisaris Bank BJB, Apa Penyebabnya?

Ketertarikan serupa juga diungkapkan oleh PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI). Hanya saja, saat ini BI-FRN belum tersedia dalam skema yang sesuai dengan prinsip syariah.

“Kami tentu akan segera melakukan kajian dan mempertimbangkan pembelian jika ada produk dengan skema syariah,” jelas Corporate Secretary BSI, Wisnu Sunandar, kepada Kontan, Senin (10/11/2025).

Sementara itu, Advisor Banking & Finance Development Center, Moch Amin Nurdin, berpendapat bahwa pembelian BI-FRN dengan jaminan imbal hasil yang stabil menunjukkan bahwa perbankan cenderung bermain aman.

Sebagai instrumen investasi, BI-FRN tentu akan memberikan kontribusi pendapatan di luar bunga dan non-bunga. Namun, konsekuensinya, fokus utama perbankan bisa bergeser dari fungsi intermediasi.

“Karena selain pertumbuhan kredit yang masih stagnan, undisbursmen loan juga masih cukup tinggi,” jelas Amin.

Himbara Naikkan Bunga Deposito Valas hingga 4%, Persaingan Perbankan Kian Ketat

Lebih lanjut, bank juga dihadapkan pada dilema antara menjaga margin keuntungan atau net interest margin (NIM) dan biaya dana atau cost of fund (COF). Dalam situasi ini, pembelian surat utang menjadi solusi alternatif yang menarik.

Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, melihat bahwa bank tidak memiliki banyak pilihan selain membeli surat utang, terutama ketika permintaan kredit belum menunjukkan perbaikan.

Undisbursed loan yang saat ini mencapai Rp 2.300 triliun belum teratasi dengan terserapnya dana likuiditas Rp 200 triliun dari pemerintah. Saat permintaan kredit lesu, BI-FRN dapat menarik bagi bank, terutama bank yang mampu mengelola sumber dananya dari dana murah,” pungkasnya.