BUKITTINGGI — Bank Indonesia (BI) menghadapi tantangan serius dalam memastikan efektivitas transmisi kebijakan suku bunga acuan mereka ke sektor perbankan. Meski telah menurunkan BI Rate secara signifikan, pengakuan datang bahwa dampaknya terhadap suku bunga di pasar masih berjalan lambat. Fenomena ini, yang telah diamati sejak September 2024 dengan total penurunan 150 basis poin (bps), menjadi sorotan utama.
Menurut Direktur Kebijakan Makroprudensial BI, Irman Robinson, lambatnya transmisi ini sebagian besar disebabkan oleh permintaan tinggi akan suku bunga special rate dari sejumlah deposan. Permintaan ini secara langsung menghambat laju penurunan bunga deposito, yang pada gilirannya menekan penurunan suku bunga kredit perbankan.
Dalam Pelatihan Wartawan Kuartal IV 2025 di Hotel Santika, Bukittinggi, Sumatra Barat, Jumat (24/10/2025), Irman menegaskan, “Jika suku bunga special rate ini terus berada di level tinggi, tentu saja transmisi kebijakan BI Rate akan berjalan lambat.” Pernyataan ini menggarisbawahi kompleksitas dinamika pasar yang harus dihadapi bank sentral.
Data terbaru dari Bank Indonesia memang menunjukkan bahwa penurunan suku bunga deposito berjangka satu bulan masih sangat terbatas, yakni hanya 29 bps dari 4,81 persen pada awal 2025 menjadi 4,52 persen per September 2025. Bahkan, penurunan suku bunga kredit tercatat lebih lambat lagi, hanya 15 bps, bergerak dari 9,20 persen menjadi 9,05 persen dalam periode yang sama. Angka-angka ini mempertegas kesenjangan antara kebijakan acuan dan implementasi di lapangan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan besarnya porsi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang masih menikmati special rate. Tercatat, nilai DPK dengan imbal hasil khusus tersebut mencapai Rp 2.549 triliun, merepresentasikan sekitar 26,3 persen dari total DPK nasional. Dominasi special rate pada porsi DPK yang signifikan ini menjadi faktor kunci yang menghambat penyaluran kredit secara optimal, memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Menyikapi tantangan ini, Gubernur BI, Perry Warjiyo, sebelumnya telah menekankan pentingnya penguatan efektivitas transmisi suku bunga perbankan. Menurutnya, hal ini dapat dicapai melalui sinergi kebijakan yang lebih erat antara sektor moneter, makroprudensial, dan fiskal. Sinergi ini dianggap krusial untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penurunan suku bunga.
Perry Warjiyo juga menyoroti bahwa efektivitas transmisi suku bunga dan sinergi ekspansi likuiditas moneter makroprudensial perlu terus diperkuat dengan penempatan dana pemerintah di perbankan. Sejalan dengan visi ini, bank sentral pun memperkuat kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Kebijakan berbasis kinerja dan berorientasi ke depan ini ditingkatkan insentif maksimumnya dari sebelumnya 5 persen menjadi 5,5 persen dari DPK, yang akan mulai berlaku efektif pada 1 Desember 2025.
Ringkasan
Bank Indonesia (BI) menghadapi tantangan dalam mentransmisikan penurunan BI Rate ke suku bunga perbankan, terutama karena tingginya permintaan suku bunga *special rate* oleh deposan. Direktur Kebijakan Makroprudensial BI, Irman Robinson, menyoroti bahwa jika suku bunga *special rate* tetap tinggi, transmisi kebijakan BI Rate akan terhambat, mengingat besarnya porsi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menikmati *special rate* mencapai Rp 2.549 triliun.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menekankan pentingnya sinergi kebijakan antara sektor moneter, makroprudensial, dan fiskal untuk memperkuat efektivitas transmisi suku bunga. Sebagai upaya penguatan, BI juga meningkatkan insentif maksimum Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dari 5% menjadi 5,5% dari DPK, yang akan berlaku efektif pada 1 Desember 2025.