Sebuah gelombang baru siap mengguncang peta persaingan industri unggas nasional. Danantara, melalui ambisi investasi senilai Rp 20 triliun, berencana membangun peternakan unggas terintegrasi mulai awal tahun 2026. Proyek jumbo ini diprediksi akan menjadi faktor penentu bagi kinerja emiten unggas seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN), dan PT Janu Putra Sejahtera Tbk (AYAM).
Potensi dampaknya bervariasi, bisa menjadi ancaman serius atau justru katalis positif. Semua akan sangat bergantung pada skema kerja sama yang dipilih Danantara dan arah ekspansi yang akan mereka tempuh di masa mendatang dalam menggarap proyek masif ini.
Investasi fantastis sebesar Rp 20 triliun ini, yang didukung kerja sama dengan Kementerian Pertanian (Kementan), direncanakan bergulir pada Januari 2026. Dengan konsep peternakan terintegrasi, Danantara menargetkan peningkatan signifikan dalam produksi ayam dan telur. Tujuannya multifaset: mendukung program ‘Makan Bergizi Gratis’ (MBG), menstabilkan harga komoditas pangan, dan pada akhirnya, memperkokoh ketahanan pangan nasional.
Harry Su, Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, mengungkapkan bahwa proyek Danantara masih berada dalam tahap pra-feasibility study. Namun demikian, ia memproyeksikan dua skenario utama yang mungkin terjadi. Skenario pertama, Danantara membangun entitasnya sendiri atau bermitra dengan peternak skala kecil hingga menengah, di luar lingkaran empat emiten besar yang sudah ada.
Jika skenario pertama ini terealisasi, Harry Su memperingatkan bahwa hal tersebut berpotensi menekan harga ayam di pasar dan secara langsung menggerus profitabilitas keempat emiten unggas tersebut. Sebaliknya, skenario kedua justru membawa angin segar, di mana Danantara berpotensi merangkul kerja sama dengan sejumlah pemain besar seperti CPIN, JPFA, dan MAIN, menjadikannya sebuah katalis positif bagi industri.
Senada dengan kekhawatiran skenario pertama, Victor Stefano dan Wilastita Muthia Sofi, Analis BRI Danareksa Sekuritas, menilai bahwa jika Danantara memilih untuk menjadi pemain yang sepenuhnya terintegrasi, emiten-emiten unggas yang telah mapan berpotensi menghadapi pesaing baru yang tangguh. Anggaran besar dan kemudahan akses perizinan yang dimiliki Danantara menjadi keunggulan. Meski begitu, mereka menekankan bahwa implementasi proyek ini tetap membutuhkan waktu sekitar dua tahun dan eksekusi yang kuat untuk memaksimalkan anggaran tersebut secara efektif.
Di sisi lain, Abdul Azis Setyo Wibowo, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, justru memandang prospek emiten unggas ke depan masih sangat positif. Ia mencermati perbaikan pada harga jual rata-rata (ASP) seiring meningkatnya permintaan. Kedatangan investasi Danantara ke sektor ini, menurut Azis, diharapkan dapat menjadi katalis positif, misalnya melalui investasi pada industri pangan, pakan, atau infrastruktur pendukung seperti cold-chain dan fasilitas pemrosesan. Hal ini berpotensi meningkatkan efisiensi biaya, memperkuat kapasitas produksi, serta membuka peluang ekspor dalam jangka menengah.
Lebih lanjut, Azis memproyeksikan bahwa hingga akhir tahun 2025, prospek emiten unggas akan didorong oleh momentum musim liburan akhir tahun yang secara tradisional meningkatkan permintaan konsumen. Selain itu, harga jual yang lebih tinggi, yang merupakan imbas dari aktivitas culling yang berkelanjutan dan berkurangnya kuota impor grand-parent stock (GPS), juga diprediksi akan mendukung pertumbuhan pendapatan perusahaan di sektor perunggasan.
Namun, ada satu faktor penting yang perlu dicermati oleh investor saham unggas hingga tahun depan, seperti disampaikan Harry Su. Harga soybean meal berisiko mengalami penguatan kembali, didukung oleh pernyataan Presiden Trump mengenai potensi pembelian soybean Amerika sebesar 12 juta ton oleh China. Peningkatan harga soybean meal ini patut diwaspadai karena berpotensi menggerus margin profitabilitas perusahaan unggas, mengingat soybean berkontribusi sekitar 25% pada Harga Pokok Penjualan (HPP) atau Cost of Goods Sold (COGS) mereka.
Dengan berbagai pertimbangan sentimen positif dan risiko yang ada, para analis telah merilis rekomendasi saham mereka. Harry Su merekomendasikan beli saham CPIN dengan target harga Rp 6.125 per saham, JPFA dengan target harga Rp 2.410 per saham, dan MAIN dengan target harga Rp 910 per saham.
Sementara itu, Victor dan Wilastita dari BRI Danareksa Sekuritas lebih optimistis, merekomendasikan beli saham CPIN dengan target harga Rp 6.400 per saham, JPFA dengan target harga Rp 2.800 per saham, dan MAIN dengan target harga Rp 1.300 per saham. Mereka juga mempertahankan rating Overweight untuk sektor perunggasan, meyakini momentum laba akan tetap kuat dalam jangka pendek didukung perbaikan kondisi supply-demand.
Terakhir, Abdul Azis dari Kiwoom Sekuritas secara spesifik merekomendasikan untuk mencermati saham JPFA dengan target harga Rp 3.110 per saham.
Ringkasan
Danantara berencana investasi Rp 20 triliun untuk membangun peternakan unggas terintegrasi mulai tahun 2026, yang berpotensi mempengaruhi emiten unggas seperti CPIN, JPFA, MAIN, dan AYAM. Dampaknya bisa berupa ancaman penurunan harga ayam jika Danantara membangun entitas sendiri, atau menjadi katalis positif jika bermitra dengan emiten yang sudah ada.
Analis merekomendasikan saham unggas dengan target harga bervariasi: Samuel Sekuritas merekomendasikan beli CPIN (Rp 6.125), JPFA (Rp 2.410), MAIN (Rp 910), sementara BRI Danareksa Sekuritas merekomendasikan beli CPIN (Rp 6.400), JPFA (Rp 2.800), MAIN (Rp 1.300) dan Kiwoom Sekuritas merekomendasikan JPFA (Rp 3.110). Investor perlu mencermati potensi kenaikan harga soybean meal yang dapat mempengaruhi profitabilitas emiten.