Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadwalkan pemeriksaan penting terhadap Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Filianingsih Hendarta, yang akan dilaksanakan pada Kamis (11/9). Pemeriksaan ini merupakan bagian dari penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang berasal dari BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Konfirmasi mengenai agenda pemeriksaan tersebut disampaikan oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, kepada awak media pada Rabu (10/9). “Besok ada pemeriksaan, jawabannya ya,” tegas Asep, mengindikasikan bahwa pemeriksaan akan tetap berlangsung sesuai jadwal.
Asep Guntur menjelaskan bahwa kehadiran Filianingsih Hendarta diperlukan untuk memberikan keterangan mendalam mengenai mekanisme dan alasan di balik pemberian dana CSR tersebut. KPK juga berfokus pada potensi “pemufakatan” atau “kongkalikong” yang mungkin terjadi dalam proses alokasi dana. “Jadi bagaimana korelasi sampai PSBI (Program Sosial Bank Indonesia) itu bisa diberikan. Ini juga terkait dengan pertanyaan yang kedua, ini terkait dengan kongkalikong,” terang Asep, menggarisbawahi upaya penyidik mengungkap benang merah keterlibatan.
Sebelumnya, Filianingsih Hendarta telah dijadwalkan untuk diperiksa oleh KPK pada Kamis (19/6). Namun, ia tidak dapat memenuhi panggilan pemeriksaan tersebut. Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, saat itu menyampaikan bahwa Filianingsih memiliki agenda kedinasan yang telah terjadwal dan tidak dapat dibatalkan.
Ramdan mengungkapkan bahwa pihak BI telah mengirimkan surat resmi kepada KPK untuk mengajukan permohonan penundaan pemeriksaan. “Kami mohon maklum dan akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar proses ini berjalan dengan baik,” ujar Ramdan. Ia juga menegaskan komitmen Bank Indonesia untuk mendukung penuh seluruh proses hukum yang sedang berjalan di KPK.
Kasus CSR
Pemeriksaan Filianingsih Hendarta tak terlepas dari perkembangan kasus korupsi dana CSR yang telah menyeret dua anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024 sebagai tersangka, yakni Satori dan Heri Gunawan. Keduanya diduga kuat telah menyalahgunakan dana CSR yang berasal dari Bank Indonesia dan OJK, tidak sesuai dengan peruntukan semestinya.
Dalam penyelidikan, Heri Gunawan diindikasikan telah menerima dana bantuan sosial sebesar Rp 15,8 miliar. Uang tersebut, menurut dugaan KPK, malah digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti membiayai pembangunan rumah, mengelola outlet minuman, serta untuk pembelian tanah dan kendaraan.
Sementara itu, Satori diduga menerima dana sebesar Rp 12,52 miliar. Aliran dana ini, juga dicurigai KPK, dimanfaatkan untuk berbagai keperluan pribadi, termasuk deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, hingga pembelian kendaraan.
Atas perbuatan mereka, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, mereka juga dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP, mengindikasikan dugaan adanya upaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan hasil korupsi. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Satori maupun Heri Gunawan terkait penetapan status tersangka ini, dan keduanya masih belum ditahan oleh KPK.
Ringkasan
KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, terkait dugaan korupsi dana CSR dari BI dan OJK. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai mekanisme pemberian dana CSR dan potensi adanya “kongkalikong” dalam proses alokasinya. Sebelumnya, Filianingsih sempat tidak dapat memenuhi panggilan KPK karena agenda kedinasan.
Kasus ini menyeret dua anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024, Satori dan Heri Gunawan, sebagai tersangka karena diduga menyalahgunakan dana CSR. Heri Gunawan diduga menerima Rp 15,8 miliar untuk kepentingan pribadi, sementara Satori diduga menerima Rp 12,52 miliar untuk berbagai keperluan pribadi. Keduanya dijerat dengan UU Tipikor dan TPPU.