JAKARTA. Kinerja berbagai valuta asing (valas) mata uang utama dunia menunjukkan pola yang beragam, di mana sentimen kebijakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat The Fed menjadi faktor penentu utama arah pergerakan valas ke depannya. Ketidakpastian mengenai langkah moneter Amerika terus membayangi pasar global, menciptakan volatilitas yang signifikan.
Mengutip data Trading Economics pada Senin (3/11) pukul 19.00 WIB, pasangan valas EUR/USD berada di level 1,1516, menunjukkan kenaikan impresif 11,18% secara year to date (ytd). Sementara itu, GBP/USD tercatat 1,3127, menguat 4,88% ytd, dan AUD/USD di 0,6548 dengan kenaikan 5,79% ytd. Namun, tidak semua valas berhasil menanjak. USD/JPY terkoreksi 2,03% ke level 154,16, dan USD/CHF juga mengalami koreksi signifikan 11,05% ytd, berada di level 0,8071.
Taufan Dimas Hareva, Research and Development ICDX, mengungkapkan bahwa prospek pelemahan jangka pendek bagi Poundsterling (GBP) terhadap Dolar Amerika (USD) akan semakin kuat. Hal ini merupakan kombinasi dari kebijakan moneter Amerika yang masih ketat, tekanan fiskal yang membebani Inggris, serta prospek ekonomi domestik Inggris yang cenderung lesu. Meskipun ada potensi pemulihan jika Bank of England (BoE) menghadirkan kejutan positif dari sisi kebijakan atau adanya perbaikan dalam outlook fiskal, tren fundamental saat ini tetap mendukung dominasi Dolar Amerika. Dengan kondisi makroekonomi yang menunjukkan ketidakseimbangan antara Amerika yang relatif tangguh dan Inggris yang tertekan, arah pergerakan GBP/USD diperkirakan masih cenderung melemah dalam jangka menengah.
“Fokus pasar dalam waktu dekat akan tertuju pada penyampaian anggaran musim gugur serta keputusan kebijakan Bank of England yang akan menjadi penentu arah berikutnya bagi Poundsterling (GBP),” ujar Taufan kepada Kontan, Senin (3/11/2025).
Beranjak ke pasangan valas EUR/USD, Taufan menjelaskan bahwa Euro (EUR) mengalami pelemahan dalam jangka pendek terhadap Dolar Amerika Serikat akibat perbedaan arah kebijakan moneter antara Bank Sentral Eropa (ECB) dan The Federal Reserve. Menurutnya, Dolar Amerika Serikat (AS) masih menikmati dukungan dari pandangan pasar bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga di level tinggi untuk periode yang lebih lama, meskipun telah memangkas suku bunga acuan dua kali pada tahun ini. Pernyataan Jerome Powell yang menegaskan bahwa penurunan suku bunga berikutnya belum tentu terjadi membuat pasar menilai kebijakan moneter AS masih relatif ketat. Hal ini berperan besar dalam menjaga kepercayaan investor terhadap perekonomian Amerika Serikat yang tetap solid di tengah perlambatan ekonomi global.
Di sisi lain, Bank Sentral Eropa mempertahankan sikap berhati-hati dalam menyesuaikan kebijakan moneternya karena inflasi di kawasan Euro sudah mendekati target 2%. Beberapa pejabat ECB bahkan menekankan perlunya kebijakan yang fleksibel agar dapat menanggapi ketidakpastian global dan tekanan dari pasar keuangan. Namun, lambatnya pemulihan ekonomi di zona Euro, terutama di sektor industri dan konsumsi rumah tangga, membatasi ruang bagi penguatan Euro. “Ketimpangan arah kebijakan antara AS dan Eropa ini membuat sentimen terhadap Euro masih tertekan dalam waktu dekat,” kata Taufan.
Sementara itu, Nanang Wahyudin, Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, menyampaikan bahwa pasangan valas AUD/USD cenderung sangat sensitif terhadap sentimen risiko global dan pergerakan harga komoditas. Seperti mata uang komoditas lainnya, pergerakannya juga akan banyak dipengaruhi oleh prospek pertumbuhan global, khususnya dari China. Penguatan Dolar AS secara luas akan terus memberikan tekanan pada AUD/USD. Namun, Nanang menambahkan, sentimen risiko yang membaik secara global dapat memberikan dukungan sesekali, meskipun koreksi komoditas logam mulia justru bisa menambah tekanan bagi Dolar Australia.
Berikutnya, Nanang menyebutkan bahwa USD/JPY cenderung melemah akibat divergensi kebijakan moneter yang signifikan antara The Fed dan Bank of Japan (BoJ). BoJ menetapkan suku bunga kini pada 0,50%, dan kepemimpinan PM Sanae Takaichi dengan kebijakan longgarnya dapat menekan Yen Jepang. Sebaliknya, The Fed cenderung mempertahankan suku bunga tinggi atau memangkasnya secara bertahap. “Perbedaan suku bunga yang besar ini membuat carry trade menguntungkan, mendukung penguatan USD terhadap JPY,” ucap Nanang.
Selanjutnya terkait USD/CHF, Nanang menjelaskan bahwa prospek kebijakan The Fed yang hati-hati dan peran Franc Swiss sebagai mata uang safe-haven akan menjadi faktor utama. “Penguatan Dolar AS secara keseluruhan kemungkinan akan menjaga pasangan mata uang ini dalam tren naik atau setidaknya stabil di level yang lebih tinggi hingga awal tahun depan,” jelas Nanang.
Taufan memproyeksikan hingga akhir tahun 2025, pergerakan beberapa valas utama seperti EURUSD, GBPUSD, AUDUSD, USDJPY, dan USDCHF masih akan sangat ditentukan oleh arah kebijakan moneter global, khususnya The Fed dan bank sentral utama lainnya. Secara umum, Dolar AS mulai menunjukkan tanda-tanda kehilangan momentumnya, seiring pasar memperhitungkan kemungkinan penurunan suku bunga di tahun depan. Namun, kekuatan Dolar belum sepenuhnya berakhir karena data ekonomi AS masih relatif solid. “Jadi, kecenderungannya bukan pembalikan tajam, melainkan fase stabilisasi atau pelemahan bertahap,” kata Taufan.
Taufan memaparkan, Euro (EURUSD) berpotensi menguat terbatas ke kisaran 1,18-1,20 jika prospek ekonomi Eropa membaik dan ECB mulai menurunkan suku bunga secara bertahap. Namun, jika inflasi AS bertahan tinggi dan The Fed menahan kebijakan ketat lebih lama, Euro bisa tertahan di sekitar 1,13-1,16. Senada, Poundsterling (GBPUSD) juga menunjukkan pola serupa. Dengan kondisi ekonomi Inggris yang masih lemah namun inflasi belum sepenuhnya turun, Pound diperkirakan bergerak di kisaran 1,32-1,35 terhadap Dolar. Pergerakannya akan sangat sensitif terhadap arah kebijakan Bank of England dan data inflasi domestik.
Untuk Dolar Australia (AUDUSD), kinerjanya akan banyak dipengaruhi oleh harga komoditas dan aktivitas ekonomi China. Jika permintaan dari Tiongkok mulai pulih, Aussie berpeluang menguat ke kisaran 0,67-0,70, tetapi bisa kembali melemah ke sekitar 0,65 bila sentimen global negatif atau harga komoditas menurun. Taufan juga mengatakan, Yen Jepang (USDJPY) masih berpotensi tetap lemah di kisaran 150-155 per Dolar, selama Bank of Japan mempertahankan kebijakan moneter longgar. Namun, intervensi dari otoritas Jepang atau perubahan arah kebijakan BoJ bisa memicu koreksi cepat pada Yen sewaktu-waktu. “Adapun Franc Swiss (USDCHF) cenderung stabil di sekitar 0,85-0,90 per Dolar, dengan peluang penguatan CHF bila ketegangan geopolitik meningkat dan investor kembali mencari aset aman,” terang Taufan.
Melengkapi proyeksi tersebut, Nanang memproyeksikan pasangan valas EUR/USD berpotensi berada di kisaran level 1,1200 – 1,1500 pada awal tahun depan. Valas GBP/USD diperkirakan di kisaran 1,2700 – 1,3000, valas AUD/USD di kisaran 0,6700 – 0,6300, valas USD/JPY di level 155,00 – 158,00, serta valas USD/CHF berpotensi di level 0,8300 – 0,8700 pada awal tahun depan. Pasar valuta asing akan terus menjadi medan pertarungan antara kebijakan bank sentral dan data ekonomi global yang dinamis.
Ringkasan
Kinerja mata uang utama dunia bervariasi, sangat dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga The Fed. Beberapa mata uang seperti EUR, GBP, dan AUD menguat terhadap USD secara year-to-date, sementara USD menguat terhadap JPY dan CHF. Prospek pelemahan jangka pendek GBP terhadap USD diprediksi menguat karena kebijakan moneter AS yang ketat dan tekanan ekonomi Inggris.
Proyeksi hingga akhir tahun 2025 menunjukkan pergerakan valas utama akan ditentukan oleh arah kebijakan moneter global, khususnya The Fed. EUR dan GBP berpotensi menguat terbatas jika prospek ekonomi Eropa membaik, sementara AUD dipengaruhi harga komoditas dan aktivitas ekonomi China. USD/JPY diperkirakan tetap lemah selama Bank of Japan mempertahankan kebijakan moneter longgar, dan USD/CHF cenderung stabil.