Data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang berhasil mencapai 5,12% mengejutkan banyak pihak, bahkan memicu keraguan di kalangan masyarakat dan ekonom. Hal ini terutama karena angka tersebut dinilai tidak sejalan dengan data penjualan mobil yang lesu, salah satu indikator tradisional yang sering menjadi acuan. Piter Abdullah, Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti), menjelaskan bahwa pergeseran signifikan dalam pola konsumsi masyarakat menjadi kunci di balik perbedaan antara capaian pertumbuhan ekonomi yang dirilis dengan prediksi banyak ekonom.
“Ketika saya audiensi dengan Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata angka-angka yang ada di BPS itu yang harus kita pertimbangkan adalah shifting perilaku masyarakat terjadi,” ungkap Piter dalam acara Katadata Policy Dialogue: Arah APBN Kita, Jumat (15/8). Ia menekankan, pergeseran gaya hidup ini secara fundamental mengubah pola konsumsi. Sebagai contoh, generasi Z kini tidak lagi terlalu tertarik untuk membeli mobil; sebaliknya, mereka lebih memilih untuk melakukan perjalanan dan eksplorasi. Padahal, data penjualan mobil dan semen selama ini merupakan indikator utama yang digunakan oleh para ekonom dalam membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Piter lebih lanjut memaparkan, “Ini kemudian tercermin dari angka penjualan mobil yang turun tapi mobilitas masyarakat kita tinggi sekali. Lagi banyak jalan-jalan terutama saat liburan.” Kondisi ini didukung oleh data BPS yang menunjukkan sektor jasa lainnya tumbuh tinggi sebesar 11,31% pada kuartal II 2025. Pertumbuhan sektor jasa ini didorong oleh lonjakan aktivitas wisata yang signifikan: jumlah wisatawan nusantara mencapai 331,37 juta perjalanan (naik 22,32% yoy) dan wisatawan mancanegara mencapai 3,89 juta kunjungan (naik 13,96% yoy).
Fenomena libur Lebaran dan momen-momen lainnya turut menyebabkan mobilitas masyarakat melonjak tinggi. “Mereka jalan-jalan sehingga konsumsi di hotel dan restoran tinggi,” jelas Piter, menggambarkan bagaimana aktivitas rekreasi mendorong pengeluaran di sektor-sektor terkait. Meskipun demikian, Piter menilai bahwa ini bukan berarti konsumsi masyarakat naik secara drastis. Ia berpendapat bahwa saat ini masyarakat cenderung masih menahan diri dalam berbelanja. “Jadi makanya kalau angka pertumbuhan BPS itu, konsumsi naik dari 4,95% menjadi 4,97% secara tahunan pada kuartal II,” tambahnya, menunjukkan kenaikan yang relatif kecil.
Daya Beli Tetap Dijaga
Menyikapi dinamika ini, Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Masyita Crystallin menegaskan komitmen pemerintah untuk terus berupaya menjaga daya beli masyarakat. Hal ini krusial agar konsumsi masyarakat tidak terganggu. “Yang harus dijaga daya beli ya. Daya beli itu datangnya tidak hanya dari pendapatan, tapi juga dari inflasi,” kata Masyita dalam kesempatan yang sama.
Menurut Masyita, daya beli masyarakat saat ini masih terjaga dengan baik. Kondisi inilah yang memberikan kepercayaan bagi Bank Indonesia untuk lebih lanjut menurunkan suku bunga acuannya. “Jadi tetap menjaga daya beli masyarakat dan juga menjaga konsumsi masyarakat tetap baik melalui sektor-sektor yang berkembang sehingga income masyarakat itu tetap terjaga levelnya,” pungkas Masyita, menekankan strategi pemerintah dalam menopang stabilitas ekonomi.
Ringkasan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 sebesar 5,12% dinilai tidak selaras dengan lesunya penjualan mobil. Pergeseran perilaku konsumen, terutama generasi Z yang lebih memilih liburan daripada membeli mobil, menjadi faktor utama. Hal ini menyebabkan lonjakan pada sektor jasa, khususnya pariwisata, yang terlihat dari peningkatan jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara.
Pemerintah melalui Kemenkeu berkomitmen menjaga daya beli masyarakat agar konsumsi tetap stabil. Daya beli dipengaruhi oleh pendapatan dan inflasi, sehingga stabilitas ekonomi dijaga melalui sektor-sektor yang berkembang. Hal ini memungkinkan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.