
Ifonti.com JAKARTA. Kabar gembira datang dari sektor komoditas! Emiten minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang tergabung dalam Grup Salim berhasil membukukan keuntungan fantastis sepanjang periode Januari hingga September 2025. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit di bawah naungan Grup Salim menunjukkan kinerja keuangan yang cemerlang, berhasil “panen laba” di tengah dinamika pasar.
Salah satu pilar utama yang menyokong performa impresif ini adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP). Perusahaan tersebut mencatatkan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 1,24 triliun per September 2025. Angka ini merupakan lonjakan signifikan, yakni naik 55,27% secara tahunan (year on year/YoY) dibandingkan dengan Rp 803,34 miliar yang tercatat pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kenaikan laba bersih LSIP tak lepas dari pertumbuhan pendapatan yang kuat. LSIP berhasil membukukan pendapatan dari kontrak dengan pelanggan sebesar Rp 3,95 triliun per kuartal III 2025, meningkat 35,3% YoY dari Rp 2,92 triliun. Manajemen LSIP dalam keterbukaan informasi tanggal 31 Oktober 2025 menjelaskan bahwa kenaikan pendapatan ini didorong oleh dua faktor utama: meningkatnya harga jual rata-rata produk sawit dan volume penjualan yang lebih tinggi.
Secara lebih rinci, kontribusi terbesar terhadap pendapatan LSIP selama Januari-September 2025 berasal dari segmen minyak kelapa sawit, yang menyumbang Rp 2,93 triliun. Disusul oleh segmen inti sawit dan produk terkait sebesar Rp 764,89 miliar, segmen lainnya Rp 142,02 miliar, dan segmen karet dengan kontribusi Rp 110,79 miliar.
Tak kalah impresif, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) juga mencatatkan kinerja keuangan yang luar biasa. SIMP berhasil meraup laba bersih sebesar Rp 1,41 triliun per September 2025, melonjak tajam 75,97% YoY dari Rp 806,19 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Seiring dengan kenaikan laba bersih, pendapatan SIMP juga mengalami peningkatan substansial. Total pendapatan naik 32,75% YoY, dari Rp 11,23 triliun menjadi Rp 14,92 triliun per kuartal III 2025.
Rincian pendapatan SIMP menunjukkan bahwa segmen usaha minyak dan lemak nabati berkontribusi Rp 10,49 triliun, sementara segmen perkebunan menyumbang Rp 10,26 triliun. Perlu dicatat adanya eliminasi sebesar Rp 5,83 triliun pada laporan keuangan periode ini.
Emiten CPO Grup Salim Beri Penjelasan Soal Lahan Sawitnya di Kawasan Hutan
Meskipun kinerja keuangan membukukan pertumbuhan yang mengesankan, sayangnya kondisi produksi tandan buah segar (TBS) dari emiten sawit Grup Salim per kuartal III 2025 tidak sejalan dengan gemilangnya perolehan laba.
Pada kuartal III 2025, SIMP melaporkan produksi TBS inti yang relatif stabil dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu sekitar 1,9 juta ton. Manajemen SIMP, dalam keterangan resminya tanggal 31 Oktober 2025, menambahkan bahwa meskipun produksi inti stabil, total produksi CPO justru meningkat 4% YoY menjadi 513 ribu ton, yang didorong oleh kenaikan pasokan TBS dari pihak eksternal.
Kondisi serupa juga terlihat pada LSIP, di mana produksi TBS inti mengalami penurunan 2% YoY menjadi 798 ribu ton per kuartal III 2025. Namun, seperti SIMP, LSIP juga mampu meningkatkan total produksi CPO sebesar 4% YoY menjadi 202 ribu ton berkat dukungan pasokan TBS dari sumber eksternal.
Dari segi luasan lahan, lahan tertanam kelapa sawit SIMP tercatat sedikit menurun dari 241.208 hektar per 31 Desember 2024 menjadi 241.031 hektar per September 2025. Berbeda dengan SIMP, lahan kelapa sawit LSIP justru menunjukkan peningkatan, mencapai 91.420 hektar per 30 September 2025, dibandingkan 91.152 hektar pada 31 Desember 2024.
Menganalisis fenomena ini, analis Halima Yefany dan Aurelia Barus menyoroti bahwa lonjakan penjualan produk kelapa sawit LSIP pada periode ini jauh melampaui tingkat produksinya. Dalam riset yang diterima Kontan pada Selasa (11/11/2025), mereka menjelaskan bahwa adanya biaya produksi yang lebih tinggi pada kuartal III 2025, yang dipicu oleh penggunaan inventaris alih-alih penimbunan seperti di kuartal II, turut menekan margin perusahaan.
Data dari laporan keuangan mengonfirmasi hal tersebut, di mana total beban produksi LSIP tercatat sebesar Rp 2,34 triliun per kuartal III 2025, meningkat signifikan dari Rp 1,98 triliun pada periode sebelumnya.
Nafan Aji Gusta, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, memberikan pandangan lain terkait penurunan produksi LSIP. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh program replanting (peremajaan tanaman) yang sedang gencar dilakukan. Ia menekankan bahwa replanting merupakan langkah wajib bagi perkebunan sawit, sehingga dampak pengurangan produksi dalam jangka pendek menjadi tidak terhindarkan. Nafan menambahkan kepada Kontan pada Selasa, “Tekanan margin akhirnya juga terjadi lantaran beban operasional naik. Tapi, ini bagus untuk jangka panjang.”
Berbeda dengan LSIP, peningkatan kinerja SIMP justru didorong oleh faktor eksternal yang positif, yaitu penguatan permintaan produk sawit global yang diiringi dengan kenaikan harga CPO dan produk turunannya. Ini menunjukkan diversifikasi pendorong kinerja di antara kedua emiten Grup Salim.
Prospek dan Rekomendasi
Melihat ke depan, Halima Yefany memproyeksikan bahwa kinerja keuangan LSIP kemungkinan besar akan tetap positif hingga akhir tahun 2025. Proyeksi ini tidak hanya didukung oleh fundamental perusahaan yang solid, tetapi juga oleh sentimen industri CPO yang masih kuat secara keseluruhan.
Ditopang Permintaan Domestik dan Ekspor, Simak Rekomendasi Saham Emiten Sektor CPO
Meskipun ada isu yang sempat menjadi perhatian, yakni terkait Satgas Kehutanan yang melakukan pengecekan lahan sawit di wilayah hutan lindung, Halima menilai bahwa risiko dari permasalahan lahan kehutanan ini cenderung terbatas bagi LSIP.
Ia menjelaskan, berdasarkan data Greenpeace, hanya sekitar 100 hektar lahan yang berpotensi terdampak dari operasi Satgas Kehutanan, yang mana angka tersebut hanya sekitar 0,1% dari total luas lahan kelapa sawit LSIP. Bahkan jika terjadi penalti, potensi kerugian diperkirakan minimal, yakni sekitar Rp 25 miliar dengan asumsi usia tanam 15 tahun dan luas perkebunan penuh. Jumlah tersebut hanya mewakili 1% dari target pendapatan LSIP untuk sepanjang tahun 2025.
Namun, Halima juga mengingatkan bahwa risiko utama lainnya yang perlu diwaspadai berasal dari perubahan regulasi, tantangan operasional, dan fluktuasi harga CPO global.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Halima Yefany merekomendasikan “beli” untuk saham LSIP, dengan target harga mencapai Rp 1.500 per saham.
Didukung Harga dan Permintaan, Emiten CPO Tetap Prospektif
Beralih ke prospek industri secara lebih luas, Nafan Aji Gusta memprediksi bahwa permintaan CPO dan produk turunannya akan tetap kuat hingga tahun 2026, khususnya dari pasar domestik. Dorongan utama berasal dari implementasi kebijakan B50 yang akan berlaku mulai Januari 2026.
Tren penguatan permintaan domestik ini sebenarnya sudah mulai terlihat belakangan ini. Data dari SIMP menunjukkan adanya pergeseran signifikan: penjualan ekspor menurun dari Rp 1,49 triliun per September 2024 menjadi Rp 834,10 miliar per September 2025. Sebaliknya, penjualan domestik SIMP melonjak tajam dari Rp 9,74 triliun menjadi Rp 14,08 triliun pada periode yang sama.
Secara umum, sentimen CPO baik dari pasar domestik maupun global dinilai masih sangat positif. Nafan juga menambahkan, “Penjualan CPO juga musiman. Permintaan mungkin naik nanti di awal 2026 karena ada Ramadan dan Lebaran,” mengindikasikan adanya faktor-faktor musiman yang dapat lebih mengerek permintaan.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Nafan merekomendasikan “accumulative buy” untuk saham SIMP, dengan target harga Rp 760 per saham.
Harga CPO Bergerak Fluktuatif, Begini Pengaruhnya ke Saham London Sumatera (LSIP)
Ringkasan
Emiten CPO Grup Salim, seperti PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), mencatatkan kinerja keuangan yang positif pada periode Januari-September 2025. LSIP membukukan laba bersih Rp 1,24 triliun, naik 55,27% YoY, didorong oleh kenaikan harga jual rata-rata dan volume penjualan. Sementara SIMP meraih laba bersih Rp 1,41 triliun, melonjak 75,97% YoY, dengan peningkatan pendapatan sebesar 32,75%.
Meskipun produksi TBS inti LSIP mengalami penurunan, total produksi CPO tetap meningkat berkat pasokan eksternal. Prospek ke depan, LSIP direkomendasikan “beli” dengan target harga Rp 1.500, sementara SIMP direkomendasikan “accumulative buy” dengan target harga Rp 760, didukung oleh permintaan CPO domestik yang kuat, terutama karena implementasi kebijakan B50 dan faktor musiman seperti Ramadan.