Emiten CPO Grup Salim Kinclong! Rekomendasi Saham Semester I 2025

Ifonti.com – JAKARTA. Kinerja gemilang berhasil dicatatkan oleh emiten kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) di bawah naungan Grup Salim pada paruh pertama tahun 2025. Dua raksasa sawit, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), sukses memanen laba signifikan selama periode tersebut.

LSIP melaporkan peningkatan pendapatan yang mengesankan di semester I 2025, mencapai Rp 2,32 triliun. Angka ini melonjak 28,9% secara tahunan (YoY), didorong oleh kenaikan harga jual rata-rata produk sawit yang positif. Manajemen LSIP dalam keterbukaan informasi pada 31 Juli 2025 menegaskan bahwa faktor harga menjadi penopang utama pertumbuhan ini.

Peningkatan pendapatan turut mengerek laba kotor LSIP yang melesat 53,7% YoY menjadi Rp 926 miliar. Sementara itu, margin laba bersih per saham (GPM) juga menunjukkan perbaikan signifikan, naik 644 basis poin (bps) YoY menjadi 39,9%. Kenaikan ini didukung oleh efisiensi biaya yang berhasil diterapkan perusahaan, sehingga laba bersih di semester pertama 2025 tumbuh 19,4% YoY mencapai Rp 714 miliar. Lebih jauh, core profit perusahaan bahkan tumbuh lebih agresif, menyentuh Rp 791 miliar atau naik 54% YoY.

Meskipun produksi tandan buah segar (TBS) inti LSIP sedikit menurun 2% YoY menjadi 505.000 ton di semester I 2025, penurunan ini berhasil diimbangi oleh peningkatan produksi TBS eksternal. Hasilnya, total produksi CPO LSIP masih mencatat kenaikan 6% YoY, mencapai 130.000 ton.

Di sisi lain, SIMP juga tidak kalah bersinar. Perusahaan ini berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 755,14 miliar per semester I 2025, melonjak 43% YoY dari Rp 528,85 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan laba ini sejalan dengan pertumbuhan produksi TBS inti SIMP yang naik 2% YoY menjadi 1,2 juta ton, serta kenaikan produksi minyak sawit (CPO) sebesar 7% YoY menjadi 326 ribu ton per semester I 2025, didukung oleh peningkatan TBS inti dan eksternal.

Penjualan SIMP juga tumbuh impresif, melampaui Rp 9,39 triliun per Juni 2025, meningkat 33% YoY dibandingkan Rp 7,05 triliun per Juni 2024. Manajemen SIMP, dalam keterbukaan informasi pada Kamis, 31 Juli, menjelaskan bahwa pertumbuhan ini utamanya ditopang oleh kenaikan harga jual rata-rata produk sawit serta produk minyak dan lemak nabati, ditambah volume penjualan produk sawit yang meningkat.

Menariknya, baik LSIP maupun SIMP ternyata juga melakukan ekspor, meskipun kontribusinya relatif kecil. Penjualan ekspor SIMP menyumbang Rp 649,08 miliar terhadap pendapatan di semester I 2025, sementara ekspor LSIP berkontribusi Rp 21,36 miliar pada periode yang sama. Ketergantungan pada penjualan ekspor ini membuat kinerja kedua emiten sedikit terdampak oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Meski demikian, manajemen menegaskan bahwa penjualan ekspor ini secara alami memberikan lindung nilai terbatas terhadap dampak pergerakan mata uang asing.

Kiswoyo Adi Joe, Direktur PT Rumah Para Pedagang, mengamati bahwa kenaikan kinerja LSIP dan SIMP sudah sesuai ekspektasi, mengingat harga CPO global yang tengah tinggi. Secara khusus, Kiswoyo menyoroti SIMP yang diuntungkan oleh harga jual dan permintaan minyak goreng yang kuat di pasar domestik, mengingat segmen minyak goreng dan lemak nabati menjadi kontributor terbesar pendapatan SIMP, mencapai Rp 6,96 triliun di semester I 2025. Adapun penurunan produksi TBS inti LSIP dijelaskan Kiswoyo sebagai akibat dari fokus perseroan pada program replanting atau peremajaan kebun, dengan produksi dari lahan plasma (eksternal) yang justru meningkat.

Prospek Kinerja dan Rekomendasi Saham

Meskipun memiliki penjualan ekspor, kedua emiten ini diperkirakan tidak akan terlalu terdampak oleh isu “Tarif Trump” atau proteksionisme perdagangan. Hal ini disebabkan negara importir CPO terbesar langganan Indonesia adalah Tiongkok dan India, bukan AS. Selama harga CPO masih bertahan di atas MYR 4.000 per ton, emiten-emiten sawit diproyeksikan akan terus mengakumulasi keuntungan di semester II. Sebagai informasi, harga CPO global saat ini berada di level MYR 4.256 per ton, naik 2,33% dalam sebulan terakhir.

Namun, untuk SIMP, Kiswoyo mengingatkan bahwa penjualan akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah terkait batas harga minyak goreng. “Jika nominal harga terlalu diatur dan pasokan dari pemerintah banyak, SIMP mungkin babak belur,” ujarnya. Semester II sendiri merupakan masa panen raya bagi sebagian besar emiten sawit, yang berpotensi memberikan dorongan positif bagi kinerja LSIP dan SIMP. Kendati demikian, untuk LSIP, faktor ini tetap akan bergantung pada keberlanjutan proses replanting.

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Kiswoyo merekomendasikan “beli” untuk kedua saham. Ia menargetkan harga SIMP di Rp 800 per saham, dengan saran pembelian di rentang Rp 500 – Rp 550 per saham. Sementara itu, LSIP ditargetkan di Rp 1.500 – Rp 1.600 per saham, dengan saran pembelian di bawah Rp 1.250 per saham.

Senada, Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas, Abdul Azis Setyo Wibowo, turut mencermati prospek emiten sawit yang masih berpotensi tumbuh positif di semester II 2025, termasuk LSIP. Potensi ini didorong oleh keberlanjutan kebijakan B40 (mandatori campuran biodiesel sawit dalam bahan bakar solar) serta perjanjian IEU CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement). Kebijakan dan perjanjian ini diharapkan dapat meningkatkan permintaan sekaligus membuka peluang ekspor ke negara-negara Eropa. Dengan meningkatnya permintaan, harga jual rata-rata (ASP) dan kinerja para emiten CPO pun bisa ikut terangkat.

“Secara tantangan, yang perlu diperhatikan adalah ketidakpastian global yang masih bisa potensi meningkatkan dari cost LSIP,” ujar Azis. Meskipun demikian, Azis tetap merekomendasikan “beli” untuk LSIP dengan target harga yang optimistis di Rp 1.460 per saham.