Ifonti.com JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah berupaya memperdalam pasar modal dan meningkatkan likuiditas dengan menargetkan peningkatan porsi saham free float. Langkah ini dinilai krusial untuk menjadikan pasar modal Indonesia lebih kompetitif.
Kepala Eksekutif Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, mengungkapkan bahwa meskipun kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia (BEI) tergolong besar dibandingkan bursa lain di kawasan, rata-rata porsi saham free float emiten masih tertinggal.
Menurut perhitungan OJK, rata-rata free float emiten di BEI saat ini berada di angka 23,90%. Angka ini masih di bawah Filipina yang mencatatkan rata-rata 41,18%, menunjukkan adanya potensi besar yang belum dimaksimalkan oleh pasar modal Indonesia.
Menilik Rencana OJK Menaikkan Free Float Menjadi 25%
OJK membagi emiten ke dalam tiga kategori berdasarkan kapitalisasi pasar, yaitu small cap, mid cap, dan big cap.
Untuk emiten dengan kapitalisasi pasar kecil (small cap), rata-rata free float tercatat sebesar 23,58% yang berasal dari 729 emiten. Kategori medium cap mencatatkan rata-rata free float 21,84% dari 174 emiten. Sementara itu, emiten dengan kapitalisasi jumbo (big cap) memiliki rata-rata free float yang lebih tinggi, yaitu 25,48% dari 50 emiten.
“Berdasarkan bobotnya, emiten big caps yang berisi 50 entitas mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 75%,” jelas Inarno dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR, Rabu (3/12/2025). Ini menunjukkan betapa pentingnya peran emiten berkapitalisasi besar dalam stabilitas dan pertumbuhan pasar modal.
Inarno menambahkan bahwa pengaturan free float sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal. Ketentuan ini diharapkan dapat mendorong likuiditas saham perusahaan.
BEI Siapkan Kenaikan Free Float ke 10%, OJK Target Akhir 25% Secara Bertahap
OJK berencana menetapkan beberapa ketentuan baru terkait free float. Pertama, adalah ketentuan mengenai Initial Free Float, yaitu jumlah free float pada saat perusahaan melakukan penawaran umum saham perdana atau Initial Public Offering (IPO).
“Kebijakan saat ini berdasarkan nilai ekuitas, yang kami usulkan yang baru menggunakan kapitalisasi pasar dan ada tingkatannya (tiering),” jelas Inarno. Perubahan ini diharapkan dapat lebih mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya.
Kedua, adalah ketentuan mengenai continuing obligation. Saat ini, perusahaan tercatat wajib memiliki free float minimal 7,5%. Batasan ini akan dinaikkan oleh OJK menjadi kisaran 10%–15%.
“Emiten di initial free float wajib mempertahankan selama satu tahun pasca IPO dan masa transisi continuing obligation selama empat tahun. Untuk emiten yang sudah listing, masa transisi continuing obligation tiga tahun,” pungkasnya. Dengan adanya masa transisi, diharapkan emiten dapat menyesuaikan diri dengan perubahan regulasi ini secara bertahap.
Ringkasan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya meningkatkan likuiditas pasar modal Indonesia dengan menargetkan kenaikan porsi saham free float. Saat ini, rata-rata free float emiten di BEI masih di bawah negara lain seperti Filipina, sehingga OJK memandang perlu adanya perubahan untuk meningkatkan daya saing pasar modal.
OJK berencana menetapkan ketentuan baru terkait free float, termasuk aturan mengenai Initial Free Float berdasarkan kapitalisasi pasar dan peningkatan batasan minimal free float untuk continuing obligation menjadi 10%-15%. Emiten akan diberikan masa transisi untuk menyesuaikan diri dengan regulasi baru ini, dengan harapan dapat mendorong likuiditas saham perusahaan secara bertahap.