Geger! CMNP Gugat BHIT Rp 119 T: Dampak ke Saham?

Ifonti.com – JAKARTA. Kabar mengejutkan datang dari ranah korporasi, di mana PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) melayangkan gugatan hukum senilai Rp 119 triliun terhadap Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Hary Tanoesoedibjo) dan perusahaan miliknya, PT MNC Asia Holding Tbk (BHIT). Gugatan ini berpusat pada dugaan perbuatan melanggar hukum terkait transaksi tukar menukar surat berharga Negotiable Certificate of Deposit (NCD) puluhan tahun silam, yang diklaim CMNP telah merugikan perseroan secara signifikan.

Titik pangkal permasalahan ini bermula pada 12 Mei 1999. Kala itu, Hary Tanoe diduga menawarkan penukaran NCD senilai US$ 28 juta yang diterbitkan oleh Unibank. Sebagai imbalannya, CMNP menyerahkan Medium Term Note (MTN) senilai Rp163,5 miliar dan obligasi tahap II senilai Rp 189 miliar miliknya. Serah terima instrumen CMNP kepada Hary Tanoe dilakukan pada 18 Mei 1999, sementara Hary Tanoe kemudian menyerahkan NCD secara bertahap pada 27 Mei 1999 (US$ 10 juta) dan 28 Mei 1999 (US$ 18 juta), dengan tanggal jatuh tempo 9-10 Mei 2022.

Namun, masalah krusial muncul ketika NCD tersebut tidak dapat dicairkan pada 22 Agustus 2002, jauh sebelum tanggal jatuh tempo aslinya. Pasalnya, Unibank telah ditetapkan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada Oktober 2001. CMNP menuding Hary Tanoe diduga mengetahui bahwa NCD tersebut diterbitkan secara tidak sah, dan mengklaim kerugian materiil mencapai Rp 103,4 triliun jika dihitung dengan bunga 2% per bulan. Lebih lanjut, NCD tersebut juga diduga melanggar Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1988, karena diterbitkan dalam mata uang dolar AS dan memiliki tenor lebih dari dua tahun.

Dalam gugatannya, CMNP menuntut ganti rugi materiil sekitar Rp 103 triliun dan immateriil sekitar Rp 16 triliun, sehingga total mencapai angka fantastis Rp 119 triliun. Ada empat pihak yang menjadi tergugat dalam perkara ini: Tergugat I adalah Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo, Tergugat II PT MNC Asia Holding Tbk (BHIT), Tergugat III Tito Sulistio, dan Tergugat IV Teddy Kharsadi.

Menanggapi gugatan ini, BHIT memberikan keterbukaan informasi pada 4 Maret 2025 lalu. Sepemahaman BHIT, gugatan ini terkait dengan transaksi antara CMNP dan Unibank senilai US$ 28 juta yang terjadi 26 tahun lalu, tepatnya sekitar Mei 1999. BHIT menegaskan posisinya hanya sebagai arranger dalam transaksi tersebut dan oleh karenanya tidak mengetahui latar belakang CMNP melayangkan gugatan. Menurut BHIT, gugatan seharusnya ditujukan kepada Unibank dan/atau pemegang saham pengendali Unibank.

Perkara NCD Unibank ini bukan kali pertama mencuat. Sebelumnya, isu ini sempat dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) CMNP pada 30 Desember 2024. Saat itu, kuasa pemegang saham mempertanyakan kejelasan terkait NCD Unibank senilai US$ 28 juta yang dimiliki CMNP, yang sudah hampir 20 tahun terabaikan tanpa tindak lanjut dari manajemen. Berdasarkan pemberitaan KONTAN, manajemen CMNP diminta untuk mengusut tuntas kasus ini melalui proses hukum dan diharapkan ada progres pada kuartal I 2025. Kuasa Hukum CMNP, Lucas, mempertanyakan pihak yang membuat dokumen tidak sah dan menikmati keuntungan tersebut. Pihak CMNP juga secara tegas menolak posisi Bhakti Investama (sekarang MNC Asia Holding) sebagai arranger, sebab menurut Lucas, “Yang menyerahkan (NCD) kepada CMNP adalah MNC Asia Holding (dulu PT Bhakti Investama) dan Hary Tanoe,” ujarnya kepada Kontan pada Kamis, 4 September 2025.

Perseteruan hukum ini tentu memiliki implikasi terhadap prospek dan kinerja saham kedua emiten di pasar modal. Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai bahwa kinerja saham CMNP dan BHIT sudah lama tidak likuid, dan kinerja fundamental keduanya pun “underwhelming”. “Apalagi ditambah kasus yang tengah dijalani keduanya,” imbuhnya, mengindikasikan dampak negatif dari sengketa ini.

Nafan menyarankan investor ritel untuk menunggu proses hukum dari kedua emiten tersebut. Ia memproyeksikan kasus ini dapat berdampak negatif terhadap kinerja keduanya, terutama karena rendahnya permintaan saham dan tantangan terkait peningkatan biaya operasional sepanjang kasus ini masih bergulir. Bahkan penyesuaian tarif tol dan peningkatan mobilitas di akhir tahun, yang seharusnya menjadi sentimen positif bagi CMNP, belum tentu mampu mengimbangi tekanan dari peningkatan biaya litigasi yang dapat menekan laba perusahaan. Sementara itu, Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, mengingatkan perlunya mewaspadai sejauh mana persepsi investor terhadap risiko litigasi ini dapat memengaruhi pergerakan saham kedua perusahaan.

Dari sisi finansial, BHIT mencatatkan pendapatan bersih Rp 7,61 triliun pada semester I 2025, menurun dari Rp 7,92 triliun di semester I 2024. Sejalan dengan itu, laba bersih juga terkoreksi menjadi Rp 192,87 miliar per semester I 2025, dari Rp 267,89 miliar di periode yang sama tahun lalu. Liza juga mencatat bahwa seluruh laba bersih BHIT tahun 2024 sebesar Rp 194 miliar ditahan. Di tahun 2025, fokus bisnis BHIT terbagi dalam empat pilar utama: media, jasa keuangan, pariwisata/hotel, dan tambang.

Untuk CMNP, laporan kuartalan atau paparan publik terbaru sangat dinanti investor untuk proyeksi kinerja sektor jalan tol. CMNP berhasil mencatatkan kenaikan pendapatan dari Rp 1,68 triliun per semester I 2024 menjadi Rp 2,19 triliun per semester I 2025. Namun, sayangnya, laba bersih justru turun menjadi Rp 528,93 miliar per semester I 2025, dari sebelumnya Rp 576,29 miliar di periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan catatan Kontan, emiten jalan tol ini juga absen membagikan dividen dari buku tahun 2024 untuk fokus menggarap proyek-proyek penting tahun ini, yaitu Tol Desari dan Harbour Road I (HBR 2). Anak usaha perseroan, PT Citra Waspphutowa (CW), telah mengoperasikan Seksi 1 dan 2 ruas Antasari-Brigif-Sawangan sepanjang 12,1 km. Sementara untuk Seksi 3 Sawangan-Bojonggede sepanjang 9,5 km, progres pengadaan tanah telah mencapai 63,78%. Pada Seksi 4 Bojonggede-Salabenda sepanjang 6,4 km, perseroan kini dalam tahap penyelesaian Rencana Teknik Akhir. CMNP juga tengah giat melaksanakan konstruksi Jalan Tol Ancol Timur-Pluit (elevated) atau Harbour Road II, sebagai upaya penambahan kapasitas koridor Ancol Timur hingga Pluit, bekerja sama dengan PT Wijaya Karya (WIKA) dan PT Girder Indonesia. Proyek ambisius ini menargetkan operasi bertahap sisi selatan pada awal 2026 dan sisi utara pada awal 2027.

Mengingat kompleksitas kasus hukum dan kondisi pasar, Nafan Aji Gusta dan Liza Camelia Suryanata kompak belum memberikan rekomendasi saham untuk CMNP maupun BHIT. Para investor disarankan untuk memantau perkembangan kasus ini dengan saksama.

Ringkasan

PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) menggugat Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Hary Tanoesoedibjo) dan PT MNC Asia Holding Tbk (BHIT) sebesar Rp 119 triliun terkait dugaan pelanggaran hukum dalam transaksi NCD tahun 1999. CMNP mengklaim mengalami kerugian akibat NCD yang diterbitkan Unibank tidak dapat dicairkan setelah Unibank menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), dan menuding Hary Tanoe mengetahui penerbitan NCD tersebut tidak sah.

BHIT menyatakan bahwa mereka hanya bertindak sebagai arranger dalam transaksi tersebut dan tidak mengetahui alasan gugatan. Analis menyarankan investor untuk berhati-hati dan memantau perkembangan kasus hukum ini, karena dapat berdampak negatif pada kinerja saham CMNP dan BHIT yang saat ini dinilai kurang likuid dan memiliki fundamental yang kurang baik. Gugatan ini juga berpotensi meningkatkan biaya operasional kedua perusahaan.