Ifonti.com NEW YORK. Pasar minyak mentah dunia menunjukkan stabilitas pada perdagangan Senin (3/11/2025). Keseimbangan ini terbentuk setelah pelaku pasar mencerna keputusan kunci dari aliansi produsen minyak OPEC+ untuk meningkatkan pasokan secara terbatas, namun sekaligus merencanakan penghentian kenaikan produksi pada kuartal pertama 2026. Situasi ini terjadi di tengah bayang-bayang kekhawatiran kelebihan pasokan global dan data manufaktur yang melemah di Asia, konsumen minyak terbesar.
Pada penutupan perdagangan, harga minyak mentah Brent naik tipis 12 sen, atau 0,2%, mencapai level US$ 64,89 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat juga menguat ringan 7 sen, atau 0,1%, bertengger di posisi US$ 61,05 per barel. Gerak harga yang cenderung datar ini mencerminkan tarik-menarik antara faktor-faktor fundamental yang memengaruhi pasar.
OPEC+, kelompok yang terdiri dari negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dan sekutunya, telah mencapai kesepakatan penting pada Minggu (2/11). Mereka memutuskan untuk menambah produksi sebesar 137.000 barel per hari (bph) khusus untuk bulan Desember. Namun, dalam langkah strategis yang serupa, kelompok tersebut juga sepakat menunda kenaikan produksi lebih lanjut sepanjang kuartal pertama tahun depan. Keputusan ini dianalisis oleh lembaga konsultan energi Ritterbusch and Associates, yang menyatakan bahwa “Dampak negatif terhadap harga akibat kenaikan produksi 137.000 bph pada kuartal ini tertahan oleh keputusan OPEC untuk menghentikan penambahan pasokan setelah akhir tahun ini.”
Harga Minyak Dunia Stabil Selasa (7/10) Pagi, Brent ke US$65,48 & WTI ke US$61,69
Menganalisis prospek jangka menengah, bank investasi Morgan Stanley menaikkan proyeksi harga Brent untuk paruh pertama 2026 menjadi US$ 60 per barel, dari perkiraan sebelumnya US$ 57,50. Peningkatan proyeksi ini tidak lepas dari pertimbangan keputusan OPEC+ untuk menghentikan kenaikan kuota produksi, serta pengenaan sanksi baru dari AS dan Uni Eropa terhadap aset minyak Rusia. Di sisi lain, Badan Energi Internasional (IEA) justru memproyeksikan potensi surplus pasar minyak global hingga 4 juta barel per hari tahun depan. Kontras dengan IEA, OPEC sendiri memperkirakan bahwa keseimbangan antara pasokan dan permintaan dapat tercapai. Sejumlah CEO perusahaan minyak Eropa, dalam sebuah konferensi di Abu Dhabi, juga menyuarakan pandangan yang mengingatkan pasar agar tidak terlalu pesimistis terhadap prospek harga minyak.
Harga Minyak Dunia Stabil Senin (21/7), Brent ke US$69,16 dan WTI ke US$67,34
Terkait faktor pasokan, analis dari RBC Capital Markets menyoroti Rusia sebagai sumber ketidakpastian yang berkelanjutan. Hal ini menyusul sanksi AS terhadap produsen minyak Rosneft dan Lukoil, ditambah dengan serangkaian serangan terhadap infrastruktur energi negara tersebut.
Sementara itu, dari sisi permintaan, pelemahan sektor manufaktur Asia terus berlanjut pada Oktober, yang merupakan indikator penting mengingat kawasan ini adalah konsumen minyak terbesar di dunia. CEO TotalEnergies, Patrick Pouyanné, mengamati bahwa pertumbuhan permintaan minyak China telah melambat sejak 2020, seiring transisinya menuju energi hijau. Namun, ia tetap mempertahankan optimisme terhadap prospek jangka panjang berkat meningkatnya konsumsi di India, yang dapat mengimbangi penurunan di China.
Faktor lain yang turut menekan harga minyak adalah penguatan nilai dolar AS yang mencapai posisi tertinggi dalam tiga bulan. Dolar yang lebih kuat membuat minyak menjadi lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain, sehingga berpotensi mengurangi permintaan global.
Harga Minyak Dunia Stabil Rabu (1/10) Pagi: Brent ke US$66,15 & WTI ke US$62,49
Dari ranah kebijakan moneter, para pejabat Federal Reserve (The Fed) AS menyampaikan pandangan yang beragam mengenai risiko terhadap ekonomi domestik menjelang pertemuan kebijakan berikutnya. Kondisi ini diperparah oleh terbatasnya data ekonomi akibat penutupan sebagian pemerintahan federal. Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, menegaskan bahwa bank sentral belum terburu-buru untuk menurunkan suku bunga karena inflasi masih bertahan di atas target 2%. Berbeda pandangan, Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly, sebelumnya mendukung pemangkasan suku bunga pekan lalu dan menyatakan perlunya menunggu data tambahan sebelum mengambil keputusan lebih lanjut pada pertemuan 9–10 Desember mendatang. Secara umum, suku bunga yang lebih rendah cenderung mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak karena menekan biaya konsumsi.
Meski demikian, aktivitas manufaktur AS sendiri masih tertekan, mencatat kontraksi untuk bulan kedelapan berturut-turut pada Oktober. Kondisi ini disebabkan oleh pesanan baru yang lemah dan keterlambatan pasokan yang diakibatkan oleh tarif impor, menambah daftar tekanan pada sisi permintaan global.
Harga Minyak Anjlok, Pasar Menimbang Rencana OPEC+ dan Kekhawatiran Permintaan
Dalam perkembangan geopolitik yang terpisah, Presiden Donald Trump menyatakan kemungkinan militer AS akan mengirim pasukan atau melancarkan serangan udara ke Nigeria. Langkah ini disebutnya bertujuan untuk menghentikan apa yang ia seidentifikasi sebagai pembunuhan besar-besaran terhadap umat Kristen di negara tersebut. Nigeria sendiri merupakan anggota penting OPEC sekaligus produsen minyak terbesar di Afrika, sehingga setiap intervensi dapat berpotensi menciptakan ketidakpastian tambahan di pasar minyak global.