Ifonti.com Pasar saham global saat ini masih diselimuti ketidakpastian, dipicu oleh data pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan pelemahan. Kondisi makroekonomi ini menjadi pendorong utama bagi bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga acuan (Fed funds rate) pada September 2025.
Analis pasar modal, Hans Kwee, kepada Jawa Pos pada Minggu (7/9), memproyeksikan bahwa The Fed kemungkinan akan melakukan dua hingga tiga kali pemangkasan suku bunga sepanjang tahun 2025. Keputusan ini diperkirakan akan memiliki implikasi signifikan bagi pasar finansial dunia.
Lemahnya kinerja pasar tenaga kerja AS secara historis sering kali menjadi indikator potensi perlambatan ekonomi secara menyeluruh. Hal ini berpotensi menekan indeks utama di Wall Street dan, secara tidak langsung, memberikan dampak negatif yang meluas pada pasar saham global.
Menurut Hans Kwee, situasi ini tentu bukan merupakan kabar gembira bagi kinerja pasar saham di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang sangat sensitif terhadap sentimen ekonomi global.
Selain pergerakan suku bunga The Fed, sejumlah faktor lain juga menjadi perhatian serius bagi investor. Kekhawatiran terhadap inflasi yang persisten, pelebaran defisit fiskal, serta ketidakpastian politik di negara-negara maju seperti AS, Inggris, Prancis, dan Jepang, dapat memicu kenaikan yield obligasi jangka panjang mereka. Fenomena ini, jika terjadi, berpotensi menular ke pasar obligasi global.
Hans Kwee, yang juga seorang dosen magister Fakultas Ekonomi Bisnis Unika Atma Jaya, menjelaskan bahwa kenaikan yield obligasi jangka panjang ini dapat berdampak pada penekanan nilai tukar mata uang serta memicu capital outflow dari negara-negara berkembang, menciptakan volatilitas di pasar keuangan.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, kabar baik justru datang dari sektor perdagangan internasional, khususnya bagi negara-negara di Asia. Hans Kwee menyoroti bahwa ekspor negara-negara Asia tidak mengalami dampak signifikan dari kebijakan tarif resiprokal AS yang diterapkan pada era pemerintahan Presiden Donald Trump. Ini mengindikasikan bahwa fondasi ekonomi kawasan Asia cukup resilient terhadap gejolak kebijakan perdagangan.
Dari sisi domestik, Hans Kwee mengamati kembalinya sentimen positif di pasar saham Indonesia. Setelah sempat diwarnai gejolak politik yang memanas akibat ketidakpuasan masyarakat, respons cepat dan adaptif dari pemerintah dinilai mampu meredam ketegangan yang ada.
Lebih lanjut, Hans Kwee menyebutkan bahwa adanya tuntutan yang jelas (17+8) dari masyarakat, pernyataan Presiden Prabowo yang menunjukkan penerimaan terhadap sebagian tuntutan pendemo, serta inisiasi dialog terbuka dengan pembuat kebijakan, telah memberikan sentimen positif yang signifikan bagi stabilitas pasar domestik.
Untuk prospek jangka pendek, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia berpeluang untuk menguat dalam fase konsolidasi. Hans Kwee memproyeksikan level support IHSG berada di kisaran 7.547 hingga 7.771, sementara level resistance diprediksi di angka 7.911 hingga 8.022.
Di sisi lain, optimisme juga terlihat dari pertumbuhan investor pasar modal di Indonesia. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa jumlah investor terus bertumbuh secara signifikan, bahkan berhasil melampaui angka 18 juta Single Investor Identification (SID). Tepatnya, sebanyak 18.012.665 SID tercatat pada akhir Agustus 2025. Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad, menambahkan bahwa “Sepanjang tahun ini, terdapat penambahan 3.141.026 SID,” menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap investasi di pasar modal.
Data perdagangan saham selama periode 1-4 September 2025 menunjukkan pergerakan yang bervariasi. IHSG berhasil menguat tipis sebesar 0,47 persen secara mingguan, ditutup pada level 7.867,348 dibandingkan posisi 7.830,493 pada akhir pekan sebelumnya.
Kapitalisasi pasar BEI juga mencatatkan peningkatan tipis 0,20 persen secara week-to-week (WtW), mencapai Rp 14.211 triliun. Namun, di balik kenaikan ini, terdapat penurunan pada rata-rata frekuensi transaksi harian sebesar 9,88 persen dibandingkan pekan sebelumnya, menjadi 2,08 juta kali transaksi.
Tren penurunan juga terlihat pada rata-rata volume transaksi harian yang anjlok 21,09 persen secara mingguan, menjadi 37,24 miliar lembar saham. Sejalan dengan itu, rata-rata nilai transaksi harian melemah 28,43 persen, kini berada di angka Rp 18,05 triliun dari pekan sebelumnya.
Melihat aktivitas investor asing, Kautsar Primadi Nurahmad mengungkapkan bahwa pada hari terakhir perdagangan pekan lalu, tercatat net sell sebesar Rp 305,18 miliar. Lebih lanjut, sepanjang tahun 2025 hingga saat ini, investor asing telah membukukan total net sell senilai Rp 55,13 triliun, yang menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam dinamika pasar saham domestik.
Ringkasan
Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang dipicu isu pemangkasan suku bunga The Fed dan kekhawatiran inflasi, pasar saham Indonesia menunjukkan resiliensi. Ekspor Asia yang kuat dan stabilitas politik domestik setelah respons pemerintah terhadap tuntutan masyarakat menjadi faktor pendukung utama.
IHSG diproyeksikan menguat dalam fase konsolidasi dengan level support dan resistance yang telah diidentifikasi. Pertumbuhan jumlah investor pasar modal yang signifikan dan data perdagangan saham menunjukkan dinamika pasar yang bervariasi, dengan investor asing mencatatkan net sell sepanjang tahun ini.