Inflasi Sumsel Mengintai! BI Beri Peringatan Jelang Nataru

Ifonti.com, PALEMBANG— Bank Indonesia (BI) memprakirakan bahwa tekanan inflasi di Sumatra Selatan (Sumsel) akan terus berlanjut seiring dengan mendekatnya Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2026. Momentum akhir tahun ini diperkirakan akan menjadi pemicu utama kenaikan harga di wilayah tersebut.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Selatan, Bambang Pramono, mengumumkan bahwa inflasi tahunan di Sumsel pada bulan Oktober tercatat sebesar 3,49% (year on year/YoY). Meskipun angka ini masih berada dalam rentang sasaran 2,5% ± 1%, terjadi sedikit peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya yang berada pada level 3,44% YoY. Kenaikan ini juga sejalan dengan tren nasional, di mana inflasi secara keseluruhan turut menanjak menjadi 2,86% YoY.

Bank Indonesia memprakirakan bahwa tekanan inflasi ke depan di Sumsel akan didorong oleh beberapa faktor krusial. Peningkatan konsumsi masyarakat menjelang dan selama periode Nataru 2026 menjadi pemicu utama. Selain itu, potensi kenaikan harga juga berasal dari sejumlah komoditas volatile food yang rentan terhadap tantangan dalam proses produksi. Hal ini diperparah oleh periode musim tanam padi dan hortikultura yang bertepatan dengan musim hujan, berpotensi memengaruhi produktivitas dan ketersediaan pasokan. Dorongan inflasi juga diperkirakan akan datang dari harga emas perhiasan yang tetap tinggi, akibat ketidakpastian global dan pelemahan nilai tukar.

Menanggapi potensi tekanan inflasi ini, Bank Indonesia bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumsel terus mengintensifkan strategi komprehensif. Upaya difokuskan pada empat pilar utama: menjaga keterjangkauan harga, memastikan ketersediaan pasokan, menjamin kelancaran distribusi, dan melaksanakan komunikasi yang efektif kepada masyarakat. Komitmen ini semakin diperkuat melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Provinsi Sumsel, Kota Palembang, Kabupaten Muara Enim, Kota Lubuklinggau, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Pagar Alam, dengan Provinsi Sumatra Barat, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Tanah Datar. Kerjasama lintas daerah ini diharapkan mampu memperkuat ketahanan pasokan dan stabilisasi harga.

Di sisi lain, sektor pertanian Sumsel menghadapi tantangan iklim yang unik. Bambang Pramono, selaku Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel, menjelaskan bahwa sepanjang tahun ini musim kemarau cenderung singkat, bahkan mengarah pada fenomena La Nina. Kondisi ini sangat tidak mendukung proses pertanaman, mengingat mayoritas Lahan Baku Sawah (LBS) Sumsel, yaitu 73% dari 519.482 hektare, didominasi oleh lahan rawa. Musim hujan yang berkepanjangan tanpa diikuti kemarau panjang tentu akan menyulitkan petani untuk mengelola dan menanam di rawa lebak.

Namun, Sumsel tidak berdiam diri menghadapi tantangan iklim tersebut. Melalui program pemerintah pusat, yaitu optimalisasi lahan, Sumsel berupaya keras meningkatkan produktivitas pertaniannya. Program ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, berhasil meningkatkan luas panen sebesar 114.000 hektare dibandingkan tahun 2024, atau setara dengan peningkatan 21% dari total LBS. Lebih lanjut, pada tahun ini, Sumsel juga bertekad menyukseskan program cetak sawah baru seluas 33 ribu hektare yang kontraknya telah ditandatangani, sebagai langkah strategis untuk memperkuat ketahanan pangan dan menekan potensi inflasi dari sektor volatile food.

Ringkasan

Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi di Sumatra Selatan (Sumsel) akan meningkat menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2026. Inflasi tahunan Sumsel pada Oktober tercatat 3,49% (YoY), sedikit lebih tinggi dari bulan sebelumnya, sejalan dengan tren inflasi nasional yang juga naik menjadi 2,86% YoY.

Peningkatan konsumsi masyarakat selama Nataru, potensi kenaikan harga komoditas volatile food akibat musim hujan yang mengganggu produksi, dan harga emas perhiasan yang tinggi menjadi faktor pendorong inflasi. BI bersama TPID Sumsel berupaya menekan inflasi melalui strategi menjaga keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif, serta kerjasama lintas daerah untuk memperkuat ketahanan pasokan.