Memasuki kuartal keempat tahun 2025, gejolak di pasar global masih terasa, belum menunjukkan sinyal stabilitas yang meyakinkan. Para investor dihadapkan pada fase yang rentan, di mana optimisme yang berlebihan harus diimbangi dengan kehati-hatian terhadap risiko valuasi yang melonjak tinggi dan konsentrasi portofolio yang terlalu besar pada saham-saham raksasa.
Hou Wey Fook, Chief Investment Officer (CIO) Bank DBS, menggarisbawahi kondisi pasar yang penuh tantangan ini. Ia mencatat bahwa sejak awal tahun, berbagai aset berisiko seperti saham teknologi, emas, hingga aset kripto telah mengalami lonjakan harga yang luar biasa. Fenomena ini dipicu oleh dimulainya pelonggaran kebijakan moneter oleh The Federal Reserve (The Fed), yang mengalirkan arus modal besar ke aset-aset tersebut.
Menurut Fook, dinamika pasar saat ini berada di bawah bayang-bayang dua kekuatan fundamental: kebijakan suku bunga rendah yang memicu aliran dana ke aset berisiko, serta kekhawatiran fiskal Amerika Serikat yang terus membesar. Pemerintahan sebelumnya di bawah Donald Trump, melalui program fiskal “One Big Beautiful Bill,” dinilai telah memperburuk defisit anggaran, yang kemudian mendorong kenaikan imbal hasil obligasi Treasury jangka panjang sekaligus melemahkan dolar AS.
Fook menjelaskan bahwa utang pemerintah AS yang kini melampaui 120% dari Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan kebutuhan mendesak akan suku bunga yang lebih rendah untuk membiayai beban pelunasan utang yang masif. Situasi ini, lanjutnya, berpotensi menciptakan fenomena fiscal dominance—suatu kondisi di mana kebutuhan fiskal pemerintah mulai mengarahkan kebijakan bank sentral, sehingga membatasi kemandirian The Fed.
Meskipun tekanan makroekonomi meningkat, Fook mengamati bahwa pasar masih mempertahankan optimisme, terutama didorong oleh pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini diyakini mampu merevolusi struktur laba korporasi secara global. Namun, Fook mengingatkan bahwa reli pasar yang besar ini berdiri di atas fondasi yang rapuh dan dibayangi oleh tiga risiko utama.
Risiko pertama adalah konsentrasi yang berlebihan pada saham-saham raksasa teknologi, yang kini menyumbang sekitar 38% dari kapitalisasi pasar S&P 500. Kedua, valuasi pasar secara keseluruhan telah mendekati level ekstrem yang berpotensi memicu koreksi. Ketiga, perlambatan pertumbuhan laba di luar sektor teknologi akibat tekanan tarif dan margin keuntungan yang menyempit. Fook memperingatkan bahwa besarnya investasi di bidang AI mungkin tidak selalu memberikan hasil sesuai ekspektasi, yang pada akhirnya dapat memicu koreksi pasar signifikan.
Dalam pandangan Bank DBS, peluang kenaikan nilai investasi masih terbuka berkat kombinasi pelonggaran moneter The Fed, kondisi ekonomi global yang relatif stabil, dan dorongan investasi modal terkait teknologi AI. Namun, strategi yang direkomendasikan bukan lagi hanya mengejar pertumbuhan semata. Sebaliknya, investor disarankan untuk menyeimbangkan antara peluang pertumbuhan dan perlindungan portofolio. “Strategi kami untuk investor adalah memanfaatkan rally ini sambil melindungi sisi bawah portofolio melalui diversifikasi,” tegas Hou Wey Fook.
Dari sisi aset, DBS menilai obligasi kini menawarkan prospek yang lebih menarik dibandingkan saham. Menyusutnya selisih imbal hasil antara laba korporasi dan obligasi pemerintah AS membuat investor beralih ke aset pendapatan tetap yang dianggap lebih defensif. Obligasi korporasi dengan kualitas investasi (peringkat A/BBB) menjadi pilihan utama karena menawarkan imbal hasil yang kompetitif di tengah tekanan inflasi dan ketidakpastian fiskal.
Sementara itu, di pasar saham, DBS masih mempertahankan pandangan positif terhadap sektor teknologi AS dan saham-saham Asia di luar Jepang. Pelemahan dolar AS dan potensi pelonggaran moneter di kawasan ini menjadi katalis kuat bagi bursa Asia. “Kami memperkuat keyakinan kami terhadap teknologi AS didukung oleh momentum kinerja yang kuat dan menaikkan alokasi saham AS kami menjadi netral,” ungkap Fook. Sebaliknya, DBS menurunkan pandangan terhadap saham Eropa dan Jepang menjadi netral hingga underweight, mengingat potensi tekanan margin dari tarif perdagangan dan penguatan mata uang masing-masing.
Selain itu, DBS juga mendorong peningkatan eksposur terhadap aset riil dan alternatif, seperti infrastruktur privat, emas, dan dana lindung nilai (hedge fund). Latar belakang pelonggaran fiskal dan moneter di AS dinilai dapat meningkatkan tekanan inflasi, menjadikan aset riil sebagai pelindung nilai yang sangat efektif. DBS bahkan memperkirakan harga emas dapat menembus US$4.450 per ons troi pada paruh pertama 2026, naik signifikan dari posisi saat ini yang telah melampaui US$4.000 per ons troi.
DBS juga menekankan pentingnya aset alternatif seperti hedge fund dan saham swasta (private equity) untuk memperkuat stabilitas portofolio secara keseluruhan. Analisis internal menunjukkan bahwa portofolio campuran yang melibatkan aset privat semi-likuid dan hedge fund mampu mengungguli portofolio tradisional dalam jangka panjang, memberikan keunggulan dalam menghadapi dinamika pasar yang tidak menentu.