Ifonti.com Pasar modal Indonesia kini tengah diwarnai fenomena rotasi dana yang signifikan. Para investor mulai menggeser fokus dari saham-saham konglomerasi yang sempat menjadi penopang utama IHSG, beralih mencari pelabuhan yang lebih stabil di saham-saham blue chips dengan fundamental yang kokoh. Pergeseran ini menjadi sinyal penting akan perubahan arah strategi investasi yang lebih selektif.
Pada perdagangan Senin (20/10/2025), indeks LQ45 mencatatkan kenaikan impresif 3,10% menuju level 796,31, sejalan dengan penguatan IHSG sebesar 2,19% yang mencapai 8.088. Namun, jika dilihat dalam perspektif sepekan terakhir, gambaran pasar sedikit berbeda; IHSG masih menunjukkan koreksi 2,18%, sementara LQ45 hanya mampu menguat tipis 0,62%. Data ini mengindikasikan adanya pergerakan dinamis di bawah permukaan pasar, di mana sejumlah sektor mulai menarik perhatian.
Para analis sepakat bahwa pergeseran ini merefleksikan perubahan signifikan dalam strategi investor. Mereka kini cenderung beralih dari aset berisiko tinggi menuju saham dengan valuasi yang lebih realistis dan likuiditas yang melimpah. Ekky Topan, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, menjelaskan bahwa rotasi dana ini adalah respons alami terhadap disparitas valuasi yang mencolok. “Saham-saham konglomerasi telah mengalami lonjakan harga yang substansial dalam beberapa minggu terakhir, sementara banyak saham blue chips berfundamental kuat justru menghadapi tekanan jual,” ungkap Ekky. Kondisi ini mendorong investor untuk melakukan profit taking dan mengalihkan portofolio mereka ke saham-saham yang lebih solid. Lebih lanjut, Ekky menambahkan, momentum rotasi ini turut dipercepat oleh sejumlah katalis positif seperti rencana suntikan dana Danantara, program penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah, serta gelombang akumulasi oleh investor institusional domestik.
Saham Konglomerasi Tergelincir
Belakangan ini, koreksi yang terjadi pada IHSG sebagian besar disebabkan oleh tekanan berat pada saham-saham konglomerasi raksasa. Emiten yang terafiliasi dengan Happy Hapsoro, seperti PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) dan PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU), mencatat penurunan tajam masing-masing 24,05% dan 23,19% hanya dalam sepekan. Nasib serupa juga dialami oleh saham-saham di bawah Grup Prajogo Pangestu. Deretan emiten seperti PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), dan PT Petrosea Tbk (PTRO) kompak tergelincir antara 3% hingga 20%. Tekanan pasar juga merambat ke saham-saham dari jaringan Hashim Djojohadikusumo, dengan PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) yang merosot 16,23%, serta kolaborasi Grup Agung Sedayu–Salim melalui PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) yang melemah 4,28%. Ini menunjukkan gelombang koreksi yang meluas di segmen konglomerasi.
Prediksi IHSG dan Rekomendasi Saham, Selasa (21/10), Jelang Pengumuman BI Rate
Perbankan Jadi Magnet Baru
Di tengah gejolak tersebut, Reza Diofanda, Analis BRI Danareksa Sekuritas, mengamati adanya aliran dana yang deras menuju sektor perbankan. Pada hari Senin, saham-saham perbankan raksasa seperti BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI serentak menunjukkan penguatan signifikan, masing-masing naik 5%, 6,17%, 5,14%, dan 6,32%. Bahkan, dalam sepekan, BBCA telah melonjak hingga 8,25%. Reza menjelaskan bahwa pemicu utama daya tarik ini adalah ekspektasi kuat terhadap penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 25 basis poin menjadi 4,50% yang diproyeksikan pada 22 Oktober 2025. “Jika terealisasi, penurunan suku bunga ini akan memangkas biaya dana bank dan secara substansial meningkatkan prospek margin keuntungan mereka,” jelas Reza. Selain itu, sentimen positif juga datang dari dana pensiun domestik yang aktif meningkatkan alokasi portofolio mereka ke saham-saham perbankan, memperkuat likuiditas dan kepercayaan di sektor ini. Dari sisi valuasi, Reza menilai masih banyak ruang bagi investor untuk masuk. Sebagai contoh, BBCA saat ini diperdagangkan pada Price to Book Value (PBV) sekitar 3,3 kali, atau 2,4 standar deviasi di bawah rata-rata valuasi lima tahun terakhirnya. Potensi serupa juga terlihat pada saham BBTN dan BBNI, menawarkan peluang menarik bagi investor cerdas.
Prediksi IHSG & Rekomendasi Saham Selasa (21/10): Siaga Jelang Keputusan BI Rate
Analis Wanti-wanti: Jangan Terlalu Euforia
Kendati demikian, tidak semua pengamat pasar sepakat bahwa tren rotasi dana ini akan berkelanjutan dalam jangka panjang. Harry Su, Managing Director Research and Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, berpendapat bahwa kondisi makroekonomi serta kinerja keuangan konstituen LQ45 belum menunjukkan perbaikan fundamental yang signifikan. “Koreksi pada saham konglomerasi mungkin saja berlanjut dalam jangka pendek, namun tidak ada jaminan bahwa tren ini akan bertahan secara berkepanjangan,” tegas Harry. Senada dengan itu, Reza juga melihat potensi rebound saham konglomerasi tetap terbuka lebar, terutama jika beberapa emiten berhasil terindeks dalam daftar MSCI global pada November mendatang. Hal ini diyakini mampu menarik minat investor institusi besar. Di sisi lain, Ekky Topan tetap optimistis bahwa tren jangka panjang saham konglomerasi belum usai. Banyak emiten masih memiliki rencana ekspansi ambisius dan ditopang oleh katalis struktural yang kuat, yang berpotensi mendorong penguatan di masa mendatang.
Strategi Investasi: Akumulasi Bertahap
Menghadapi situasi pasar yang penuh gejolak ini, konsensus para analis menggarisbawahi pentingnya sikap selektif bagi investor. Harry Su menekankan perlunya diversifikasi portofolio dan kehati-hatian dalam memantau perkembangan makroekonomi serta kebijakan yang berpotensi memengaruhi sektor lain, termasuk konglomerasi. Reza Diofanda merekomendasikan strategi rebalancing portofolio bertahap, dengan memprioritaskan saham blue chips yang likuid dan memiliki fundamental kuat, khususnya di sektor perbankan. Sektor ini diuntungkan oleh sentimen penurunan suku bunga dan potensi masuknya dana institusional. Sementara itu, Ekky Topan menegaskan bahwa fase saat ini lebih tepat disebut sebagai tahap akumulasi, bukan mark-up. “Jika sentimen positif terus berlanjut, potensi penguatan pasar yang signifikan bisa terlihat dalam beberapa bulan ke depan atau bahkan di awal tahun mendatang,” pungkas Ekky, menyiratkan peluang bagi investor jangka panjang.
Tonton: IHSG Melaju Hari Ini (20 Oktober 2025)
Sektor dan Saham Rekomendasi
Berdasarkan analisis para ahli, beberapa sektor dan saham rekomendasi muncul sebagai pilihan menarik di tengah kondisi pasar saat ini. Ekky Topan menyoroti sektor perbankan, properti, dan konsumsi – termasuk rokok, makanan, dan tekstil – sebagai prioritas utama. Ia juga melihat potensi pada energi terbarukan serta bahan baku seperti baja dan nikel. Di sisi lain, Harry Su menambahkan bahwa saham komoditas, terutama emas, tetap prospektif selama harga global masih tinggi. Untuk investor yang mencari keamanan, sektor defensif seperti FMCG (Fast Moving Consumer Goods) dan ritel modern dapat menjadi pilihan yang bijak di tengah volatilitas pasar.
Berikut adalah beberapa rekomendasi saham pilihan dengan target harga:
- BBCA – target harga Rp 9.600
- TLKM – Rp 3.900
- ICBP – Rp 12.800
- AMRT – Rp 3.000
- JPFA – Rp 2.000
Untuk peluang investasi jangka pendek, Reza Diofanda menyarankan untuk mencermati saham UNVR, MAPA, BBCA, dan BBTN.