
PIKIRAN RAKYAT – Jawa Barat dihadapkan pada paradoks ekonomi yang menarik perhatian: meskipun laju perekonomian menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) justru mengalami peningkatan. Fenomena ini menjadi sorotan utama mengingat dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mengungkapkan bahwa pada kuartal III 2025, ekonomi Jawa Barat berhasil tumbuh sebesar 5,20 persen secara tahunan, sebuah pencapaian yang mengindikasikan geliat aktivitas ekonomi. Namun, di periode yang sama hingga Agustus 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka di provinsi ini justru melonjak menjadi 6,77 persen. Angka ini mencerminkan penambahan jumlah pengangguran yang substansial, mencapai 1,78 juta orang, atau naik 0,02 persen poin dibandingkan Agustus 2024 yang tercatat sebesar 6,75 persen.
Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, menjelaskan bahwa lonjakan pengangguran ini terutama disebabkan oleh gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masif di industri tekstil sepanjang tahun terakhir. Herman menegaskan bahwa fenomena ini merupakan realitas yang tak terhindarkan dan menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat menjelang akhir tahun 2025.
Dinamika ini diperparah mengingat industri pengolahan menyumbang sekitar 40 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat. Sektor ini mengalami guncangan hebat pasca-isu tarif resiprokal yang mencuat di awal tahun. Meskipun tarif tersebut kemudian diturunkan menjadi 19 persen, dampak psikologisnya terhadap industri manufaktur tetap terasa signifikan. “Nilai ekspor Jawa Barat ke AS mencapai sekitar 18 miliar Dolar AS. Kondisi ketidakpastian ini berlangsung berbulan-bulan, sehingga tak terhindarkan terjadi PHK,” ujar Herman di Bandung, Selasa 11 November 2025, menyoroti kerentanan sektor ekspor.
Namun, setelah serangkaian negosiasi terkait tarif, Herman Suryatman optimistis bahwa situasi mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, dengan aktivitas ekspor yang kembali menggeliat. Hal ini memunculkan harapan besar bahwa pada kuartal terakhir tahun 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dapat mengalami penurunan.
Pada saat yang sama, Jawa Barat juga mencatat capaian investasi yang sangat tinggi, mencapai Rp 7,1 triliun. Pemerintah Provinsi Jawa Barat kini fokus mengarahkan investasi tersebut pada sektor-sektor industri padat modal dan padat teknologi. Salah satu contoh paling menonjol adalah pembangunan pabrik kendaraan listrik (EV) di Kabupaten Subang, yang menurut Herman, berpotensi menyerap hingga 18 ribu tenaga kerja setelah beroperasi penuh. Investasi strategis ini sejalan dengan tren global yang menuntut tenaga kerja terampil dengan keahlian khusus di bidang teknologi, mulai dari Kecerdasan Buatan (AI) hingga Blockchain.
Menyadari kebutuhan akan tenaga kerja terampil yang selaras dengan perkembangan industri, Herman Suryatman menekankan pentingnya program upskilling atau peningkatan keterampilan. Meskipun demikian, serapan tenaga kerja saat ini diakui belum sesuai harapan. “Ini menjadi pekerjaan rumah kami. Kami terus berupaya melakukan terobosan untuk mendorong upskilling bagi tenaga kerja,” tegas Herman, menggarisbawahi komitmen pemerintah.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, berbagai strategi telah diluncurkan. Salah satunya adalah inisiatif masif dari Dinas Tenaga Kerja di 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat untuk menyelenggarakan pelatihan link and match. Program ini dirancang agar kurikulum pelatihannya langsung relevan dengan kebutuhan industri. Sebagai contoh, dua pekan sebelumnya, telah dibuka pelatihan bagi 2.000 orang di Garut yang langsung bekerja sama dengan pihak industri, memastikan peserta pelatihan dapat langsung terserap setelah menyelesaikan program. Herman menambahkan bahwa fokus utama akan diarahkan pada pelatihan vokasi yang terintegrasi langsung dengan kebutuhan industri.
Menanggapi situasi ini, Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan Jawa Barat, Muhamad Nur, menyebut bahwa anomali antara pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pengangguran bisa saja terjadi. Ia menyoroti gangguan pada industri-industri padat karya sepanjang tahun 2025 sebagai salah satu penyebab utama peningkatan angka pengangguran.
Meskipun demikian, Muhamad Nur menyatakan optimismenya terhadap upaya bersama yang dilakukan pemerintah provinsi dan sektor perbankan untuk mendorong pengembangan sektor-sektor lain yang juga padat karya. “Harapannya, di akhir tahun akan terjamin data yang lebih akurat dan angka penganggurannya turun,” kata Nur, menegaskan pentingnya kolaborasi.
Situasi ini sekaligus menggarisbawahi urgensi diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi agar Jawa Barat tidak terlalu bergantung pada satu sektor padat karya. Bank Indonesia juga aktif mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat sektor-sektor lain yang memiliki potensi besar dalam penyerapan tenaga kerja, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pertanian, serta perkebunan. “Banyak negara tertarik dengan produk UMKM Indonesia. Ini peluang besar untuk memperluas produksi sekaligus membuka lapangan kerja baru,” jelas Nur, menyoroti potensi besar sektor ini.
Muhamad Nur turut berpendapat bahwa penguatan pelatihan vokasi merupakan langkah strategis krusial untuk memastikan tenaga kerja siap menghadapi perubahan dinamis kebutuhan industri. Dengan pesatnya peningkatan investasi kendaraan listrik di Jawa Barat, sangatlah penting untuk mengarahkan program pelatihan di SMK dan berbagai lembaga vokasi agar para lulusannya memiliki kompetensi yang relevan dan siap diserap oleh industri tersebut.
Ringkasan
Ekonomi Jawa Barat tumbuh 5,20% pada kuartal III 2025, namun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) justru naik menjadi 6,77%. Peningkatan pengangguran ini terutama disebabkan oleh PHK massal di industri tekstil akibat isu tarif dan ketidakpastian ekonomi global. Pemerintah Provinsi Jawa Barat berupaya mengatasi masalah ini dengan fokus pada investasi di industri padat modal dan teknologi, serta program upskilling tenaga kerja.
Pemerintah juga mendorong pelatihan link and match yang sesuai dengan kebutuhan industri dan memperkuat sektor UMKM, pertanian, serta perkebunan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru. Bank Indonesia menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi dan penguatan pelatihan vokasi agar tenaga kerja siap menghadapi perubahan kebutuhan industri, terutama dengan meningkatnya investasi di sektor kendaraan listrik.